Pelanggaran terstruktur dan sistematis dalam Pilpres 2024, sebagaimana diungkapkan oleh Tim Hukum Nasional Amin, bukan sekadar masalah teknis, melainkan tampak sebagai serangan nyata terhadap dasar-dasar demokrasi. Dari manipulasi hukum hingga ketidaknetralan lembaga-lembaga pengawas, setiap langkah tampaknya dirancang untuk merusak integritas pemilu.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden tercium bau manipulasi dan malapraktik perundang-undangan. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tetapi sebuah permainan kekuasaan yang merusak fondasi hukum dan moralitas.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tak luput dari sorotan tajam. Sikap tebang pilih dalam menangani laporan, seperti kasus pantun Muhaimin Iskandar yang dianggap tidak terbukti, menggambarkan lembaga yang seharusnya netral malah terjerat dalam politik praktis. Persoalannya, bukan ada pada putusannya.
Namun, mempertanyakan sikap Bawaslu yang tetap memproses laporan yang nyata-nyata bukan sebuah pelanggaran jika mengacu pada UU Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023.
Apalagi, laporan tersebut hanya disertai satu bukti video dan satu saksi yang bukan saksi fakta.Ini bukan lagi keteledoran, melainkan ketidakmampuan atau bahkan ketidakberanian untuk bertindak adil.
Di tambah lagi dugaan pelanggaran yang dilakukan cawapres Gibran yang hadir dalam Silaturhami Nasional Desa Bersatu yang dihadiri delapan organisasi perangkat desa pada 19 November 2023 tidak ditindaklanjuti karena kurang bukti materil. Padahal, hal-hal tersebut jelas melanggar netralitas aparatur desa dan Gibran melakukan pelanggaran administrasi pemilu dengan melakukan kampanye di luar jadwal.
Tidak hanya itu dugaan pelanggaran melakukan kampanye di lakukan oleh Gibran di hari bebas kendaraan (CFD). Saat itu, Gibran membagi-bagikan susu kemasan bersama istri dan dibantu tim kampanyenya. Padahal, mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2016, CFD dilarang menjadi arena kampanye. Namun, laporan ini tidak ditindaklanjuti Bawaslu tanpa penjelasan.
Masih terkait dengan cawapres nomor urut dua, dugaan pelanggaran kampanye di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, 10 Desember 2023.
Pondok pesantren termasuk tempat pendidikan yang seharusnya tidak digunakan untuk kampanye. Peristiwa ini juga diadukan oleh LBH Yusuf ke Bawaslu, tetapi tidak ada tindak lanjut yang memadai tanpa adanya keterangan.
Bukan hanya peserta pemilu, Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan yang dalam acara Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia di Semarang Jawa Tengah, 19 Desember 2023, terang-terang mendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 2 dan ada teriakan-teriakan Prabowo-Gibran.
Padahal, Zulkifli Hasan saat itu datang dalam kapasitasnya sebagai menteri. Terkait persoalan ini, LBH Yusuf selaku pelapor dugaan pelanggaran ke Bawaslu pun belum mendapatkan informasi mengenai perkembangan penanganan perkaranya. Kasus yang sama (Zulkifli Hasan) juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Namun, belum ada informasi tentang tindak lanjut kasus tersebut.
Pentingnya transparansi dan tanggung jawab lembaga-lembaga kunci, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), semakin menjadi sorotan dalam konteks ini. Seperti porsi tempat duduk yang tidak sama dalam debat pertama dan isu teknis lainnya menyoroti kerapuhan sistem yang seharusnya menjadi penjaga integritas pemilu.
Insiden pengiriman surat suara lebih awal oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Taipei dan respons KPU terhadap insiden tersebut semakin menambah keraguan publik terhadap netralitas dan integritas KPU.
Kepercayaan publik terhadap KPU semakin merosot seiring dengan berbagai insiden yang menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan lembaga ini dalam mengelola pemilu yang adil dan transparan.
Tindakan terstruktur dan sistematis ini membuka pintu lebar-lebar menuju keraguan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan ini, lembaga-lembaga pengawas dan penegak hukum tidak boleh hanya menjadi penonton bisu; mereka harus memberikan respons tegas, adil, dan transparan.
Publik tidak boleh membiarkan fondasi demokrasi kita dirusak oleh kelalaian dan ketidakadilan. Pemilu yang bersih, bebas, dan adil bukanlah pilihan, melainkan prasyarat mutlak bagi kelangsungan demokrasi yang sehat.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Sumber: neraca.co.id