law-justice.co – Digadang-gadang bakal jadi sumber energi gas di Pulau Jawa bagian timur, Proyek Strategis Nasional (PSN) Jambaran Tiung Biru (JTB) justru tengah menjadi sorotan karena terlambat operasi. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh Konsorsium Rekind, JGC, dan JGC Indonesia (RJJ) belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya. Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 40,65 miliar dan USD 103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun. Proyek ini dikelola oleh Pertamina melalui anak perusahannya PT Pertamina EP Cepu (PEPC).
PSN JTB diresmikan Wakil Presiden Republik Indonesia Ma`ruf Amin di Surabaya, Rabu (8/2/2023). Proyek yang menelan investasi senilai 26,7 Triliun Rupiah ini diharapkan dapat meningkatkan pasokan gas dan menjamin ketersediaan migas bagi industri di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
JTB merupakan salah satu proyek migas di Indonesia yang bertujuan mendukung tercapainya target pemerintah yakni produksi 1 juta barel minyak per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada tahun 2030.
“Semoga proyek ini mampu meningkatkan pasokan gas secara signifikan, dan menjamin ketersediaan migas bagi industri di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, sehingga turut memberikan nilai tambah dan meningkatkan penerimaan negara,” ungkap Ma’ruf Amin, Rabu (8/2/2023) lalu.
Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dalam kesempatan yang sama, menyatakan proyek ini menujukkan dukungan serius dari Pemerintah terhadap sektor hulu migas yang memiliki peran penting dalam menyediakan energi, menghasilkan penerimaan negara, sekaligus secara simultan menciptakan multiplier effect bagi industri dalam negeri lainnya.
Proyek Strategis Nasional (PSN) Jambaran Tiung Biru (JTB). (Laporan KPPIP 2022)
“Lapangan Gas Jambaran Tiung Biru (JTB) merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional yang dioperatori oleh Pertamina EP Cepu (PEPC) dan telah on stream pada 20 September 2022. Lapangan gas JTB berada di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur,” ujar Arifin.
“Kapasitas produksi Lapangan Gas JTB adalah 192 MMSCFD yang dialokasikan untuk PLN, industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, PGN ke Jargas Lamongan dan PT Petrokimia Gresik (PKG),” sambung Arifin.
Sebagai informasi, PT Pertamina EP Cepu (PEPC) sebagai Anak Perusahaan Hulu PT Pertamina (Persero) bergerak dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan wilayah kerja pertambangan di Blok Cepu. PEPC merupakan partner aktif di Blok Cepu bersama ExxonMobil Cepu Ltd (ECML), Ampolex Pte Ltd dan Badan Usaha Milik Daerah, dalam melakukan percepatan produksi migas melalui pendekatan Early Production Facility (EPF) di lapangan Banyu Urip pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 PEPC ditunjuk sebagai Operator Lapangan Unitisasi Jambaran dan Tiung Biru atas kesepakatan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja (KKKS WK) Blok PT Pertamina EP (PEP) dan KKKS WK Blok Cepu dengan penandatanganan Penandatanganan Unitization Agreement (UA) / Unitization Operation Agreement (UOA) Proyek Gas Lapangan Unitisasi Jambaran–Tiung Biru (JTB).
Temuan BPK, Potensi Rugi Rp1,59 triliun
Namun, belum genap setahun beroperasi sejumlah persoalan mulai tampak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2023 mengungkap sejumlah temuan dalam proyek ini yang berpotensi menjadi kerugian Pertamina.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pengembangan Lapangan Gas Unitisasi JTB, BPK mengungkapkan 4 temuan yang memuat 7 permasalahan. “Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 40,65 miliar dan USD 103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun,” lanjut BPK.
Hal tersebut tercantum dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023. BPK menyelesaikan hasil pemeriksaan atas proyek JTB tahun 2017 hingga semester I 2022 pada SKK Migas, PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), dan instansi terkait di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Permasalahan signifikan yang ditemukan yaitu hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh Konsorsium RJJ belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
BPK menyebutkan, terdapat keterlambatan atas pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF. Hal ini mengakibatkan kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF yang tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar USD 9,52 juta, serta denda keterlambatan berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar USD 82,79 juta.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Sartono Hutomo juga sempat mempertanyakan kepada Pertamina saat melakukan RDP beberapa waktu lalu terkait proyek pembangunan JTB. Seperti diketahui, JTB ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dan menurut Sartono proyek ini memiliki potensi secara nasional namun terimplementasi secara kurang baik.
“Terkait Jambaran Tiung Biru (JTB), ini adalah proyek strategis nasional, potensi gasnya besar tapi saya mendengar terkait penyerapan gasnya belum maksimal,” ucap Sartono ketika dihubungi, Jumat (15/12/2023). Sartono mengatakan pada saat ini apakah proyek tersebut apakah sudah terserap secara maksimal dan bagaimana rinciannya. Hal tersebut, kata Sartono penting untuk segera dijelaskan karena terdapat rekomendasi BPK yang harus dijelaskan sehingga harus diberi penjelasan secara rinci.
“Buyer sudah kontrak dan siapa saja, dan besarannya berapa, juga apakah sudah terserap maksimal hal tersebut,” katanya.
Politisi Partai Demokrat tersebut menyatakan bila penyerapan dari proyek tersebut belum maksimal tentu Pertamina harus menyiapkan langkah kedepan agar tidak mengalami kerugian.
“Apabila penyerapan belum maksimal, kira-kira rencana apa kedepannya atau seperti apa kurang lebih. Saya mendengar PGN dan PLN saja yang menyerap gas dari JTB dan penyerapannya belum maksimal. Seharusnya segera diberikan penjelasan,” imbuhnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Sartono Hutomo.
Koordinator Publish What You Pay, Aryanto Nugroho mengatakan temuan BPK pada proyek JTB berkutat pada dua hal pokok. Pertama, adanya keterlambatan pengerjaan dan spesifikasi pengerjaan yang tidak sesuai. Kedua masalah ini turut memengaruhi proses produksi yang berdampak pada kehilangan pendapatan negara.
“Di (industri) gas itu, kalau telat sehari saja itu kalau dihitung besar potensi kehilangan pendapatan. Jadi, Pertamina harus kejar ke kontraktor untuk ganti rugi karena telat dan dikompensasikan dengan hitungan BPK,” ujar Aryanto kepada Law-justice, Jumat (15/12/2023).
Aryanto menekankan perlu adanya mekanisme pengadaan dan pengawasan internal terhadap pekerjaan kontraktor. Di sisi lain, SKK Migas juga berkewajiban untuk mengontrol kinerja produksi Pertamina dalam blok gas ini. “Pertamina harus menjalankan rekomendasi dari BPK itu, termasuk permintaan kompensasi,” kata dia.
Aryanto mewanti-wanti perlu ada kejelasan pasar agar produksi gas terukur berdasar permintaan. Menurutnya, permasalahan tata kelola gas selama ini adalah belum sinkronnya perencanaan produksi di hulu dengan target konsumen di hilirnya. “Karena kalau tidak ada demand yang jelas, akan bermasalah di tengah. Karena kalau enggak sesuai target dan industrinya enggak jalan, itu jadi biayanya membengkak, karena produksi terus enggak ada yang beli, enggak terserap,” tutur dia.
Terkait dengan rekomendasi dari BPK, Pertamina EP Cepu (PEPC) Zona 12, Regional Indonesia Timur, memastikan akan menindaklanjuti rekomendasi BPK. Senior Manager Relations Pertamina EP Cepu Fitri Erika mengatakan, pihaknya akan melakukan koordinasi erat dengan pihak SKK Migas yang merupakan regulator industri hulu migas, terkait tindak lanjut mengenai hail pemeriksaan BPK. Hal tersebut, terutama terkait temuan hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh kontraktor belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
“Pertamina EP Cepu bersama SKK Migas, akan menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut dengan melaksanakan rekomendasi yang disampaikan oleh BPK,” ujar Erika dalam keterangan tertulis yang diterima Law-Justice, Jumat (15/12/2023).
Law-Justice mencoba meminta konfirmasi pada Pertamina mengenai tindak lanjut dari temuan rekomendasi BPK tersebut. Namun sampai saat ini, pihak Pertamina belum memberikan tanggapan terkait tindak lanjut dari temuan hal tersebut.
Kerap Disebut terindikasi Korupsi, anggota DPR Evaluasi Pertamina
Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi menuturkan sejumlah persoalan yang ditemukan BPK bisa menjurus ke penyimpangan atau sebaliknya. Ia menekankan proyek pengembangan blok gas seperti di JTB ini berawal dari temuan geologis soal seberapa banyak cadangan gas yang terkandung. Dari temuan geologis itu diukur nilai ekonomisnya atau berapa besar keuntungan yang bisa diraup dari produksi gas berdasar kekayaan gas yang ada.
Namun, temuan geologis dan taksiran nilai ekonomisnya hanya merupakan proyeksi yang tidak jarang meleset. Ia menegaskan prediksi jumlah kandungan gas bisa lebih banyak atau sedikit. “Saya menduga penyimpangan yang ditemukan oleh BPK, apakah benar-benar itu penyimpangan atau salah dalam membuat perkiraan atau perkiraannya sudah benar, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan,” kata Fahmy kepada Law-justice, Kamis (14/12/2023).
Fahmy mengatakan kebanyakan proyek blok gas terdapat selisih antara nilai cadangan gas dan margin keuntungannya. Sebab, proyeksi dibuat sebelum proses eskplorasi dan eksploitasi sehingga sulit menentukan nilai geologis dan ekonomisnya. Oleh karena itu, perlu ada patokan pemahaman antara BPK dan Pertamina soal seberapa besar selisih yang bisa ditolerir secara peraturan. “Itu bisa dilakukan kalau sejak awal Pertamina melibatkan BPK, sejak awal pengeboran,” katanya.
Meski begitu, Fahmy bilang potensi rekayasa dalam memainkan nilai geologis dan ekonomi itu tetap terbuka lebar. Kemungkinan, ada juga pihak tertentu yang menaksir cadangan gas yang jauh dari batas normal demi keuntungan pribadi. “Sehingga ada selisih yang dianggap penyimpangan. Tapi perlu dibuktikan itu by design atau karena perbedaan (taksiran nilai) geologis dan ekonomis tadi,” ujar dia.
Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi. (Antara)
Fahmy berpendapat titik krusial penyimpangan pengadaan blok gas yang menjurus korupsi justru terjadi ketika proses distribusinya. Sebab, hingga saat ini tata kelola distribusi masih terhambat infrastruktur yang belum memadai. Pipa gas yang menghubungkan sumber gas ke konsumen, entah itu untuk kebutuhan rumah tangga ataupun industri, rupanya tidak banyak dimiliki perusahaan pelat merah. Celah ini yang dimanfaat pemburu rente untuk menyediakan jasa distribusi. Pipa gas yang mengaliri gas cair atau LNG akhirnya dikuasai oleh pihak kedua, ketiga dan seterusnya.
Semasa menjadi satgas anti-mafia migas, Fahmy menemukan pula ada perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki pipa gas, namun tetap diberi jatah delivery oder (DO) atau distribusi. Ada pula perusahaan yang diberi jatah distribusi, tetapi panjang pipa tidak sebanding dengan volume gas. Ujung-ujungnya menggunakan pipa milik PGN yang seolah kepemilikan perusahaan tangan kedua itu. Proses distribusi yang panjang itu menyebabkan harga gas mahal.
“Nah itu banyak perusahaan yang ada kaitannya dengan pemerintah, DPR, anggota partai. Karena perusahaan tadi enggak punya pipa maka hak DO,” ucap dia.
Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron yang melakukan evaluasi terhadap proyek pembangunan jaringan gas (jargas) Jambaran-Tiung Biru (JTB) milik Pertamina. Menurutnya Pertamina sebagai induk perusahaan harus dapat mengintegrasikan anak-anak perusahaannya, yakni Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Marketing Operation Regional (MOR) untuk berpartisipasi dalam pembangunan JTB tersebut.
Menurutnya, baik PGN, MOR, dan Pertamina sama sekali belum paham mengenai tugasnya dalam core business ini, sehingga penjelasan ketiga pihak tersebut dalam pertemuan ini menjadi cenderung tidak komprehensif. “Sumbernya ada di Jambaran Tiung Biru. PGN harus berbicara semestinya gas sale terkait dengan potensi yang didapatkan dari Tiung Biru, kemudian bagaimana juga MOR terkait dengan persoalan hasil Tiung Biru, kalau tidak ada hubungannya, apa yang kemudian menjadi kekuatan masing-masing,” kata politisi yang akrab disapa Hero ini usai dikonfirmasi, Selasa (12/12/2023).
Menurut politisi Partai Demokrat ini, bisnis sektor gas merupakan tantangan tersendiri ke depan. Sebab, penggunaan elektrifikasi seperti penggunaan alat masak dan alat elektronik sejenis mulai masif, sehingga ada potensi peralihan dari gas menjadi listrik. Otomatis permintaan di hilir tentang gas akan semakin berkurang.
“Kalau kemudian mereka terus merencanakan peningkatan pada sektor hilir, hulu tidak diintegrasikan terhadap pemanfaatan hilir, kemudian sisi lain ada program secara masif dari listrik, tentu ini menjadi tantangan tersendiri,” ujarnya.
Hero menyampaikan, sebaiknya diciptakan program satu atap, yaitu Pertamina, PGN, dan Patra niaga digabung sebagai unit pengelola bisnis di sektor hilir.
“Ini betul-betul harus komprehensif, kalau tidak komprehensif kami akan menilai dari mana ada sinergitas antar unit ini, jangankan antar BUMN, antar unit saja sudah tidak ada sinergi,” ujarnya.
Selain itu, Hero juga menyatakan bila sampai saat ini kinerja Pertamina masih belum menunjukan kinerja dengan pencapaian terbaiknya. “Secara umum saya melihat kinerja Pertamina masih stuck. Belum menunjukan performa terbaiknya,” ungkapnya.
Sebagai perusahaan energi yang banyak diberikan diskresi oleh negara, kata Herman, agak lambat untuk melakukan akselerasi dan inovasinya. Berangkat dari kinerja korporasi yang telah dipresentasikan masing-masing subholding, ia tidak menemukan hal-hal baru dari paparan tersebut. “Business as usual, hal-hal biasa saja. Tidak ada sesuatu yang monumental. Tidak ada yang bisa dibanggakan kita bersama,” imbuhnya.
Ia juga mengatakan kinerja Pertamina secara umum harus mendapat perhatian khusus. Tidak berhenti sampai disitu, Herman bahkan membandingkan Pertamina dengan perusahaan minyak dan gas milik Malaysia, Petronas. “Kalau lihat negara tetangga, Petronas, mereka dengan Tower Petronas saja bisa mengenalkan Petronas ke seluruh dunia. Warga Indonesia kalau ke Kuala Lumpur foto dengan menara Petronas. Ada enggak orang Malaysia ke Indonesia foto di depan kantor Pertamina?” kata Herman.
Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron.
Menurutnya, hal kecil seperti ini justru mengukur eksistensi suatu korporasi. Herman kemudian meminta kepada enam subholding Pertamina untuk menyampaikan satu hal yang bisa membanggakan bangsa Indonesia. “Masa politik ini masih tersisa satu tahun ke depan. Masih ada cukup waktu untuk menyampaikan satu kegiatan terhebat yang dilakukan oleh saudara-saudara sebagai para direksi subholding,” tukasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengapresiasi kinerja Pertamina yang semakin hari dinilai semakin mengalami kinerja positif. Salah satunya kemampuan BUMN tersebut menyumbang produksi minyak dan gas (migas) nasional hingga 68 persen. Mulyanto mengatakan, meski hanya menguasai 30 persen blok migas nasional, namun Pertamina mampu menyumbang 68 persen migas nasional. “Artinya, Pertamina mendominasi produksi migas nasional,” kata Mulyanto usai dihubungi, Rabu (13/12/2023).
Capaian tersebut, tambah Mulyanto, menunjukkan produktivitas Pertamina sangat tinggi. Jika ke depan produksi minyak non konvensional juga berhasil dengan baik, dia yakin posisi Pertamina sebagai produsen migas akan semakin kuat.
Meski begitu Mulyanto juga memberi beberapa sorotan terhadap perusahaan plat merah tersebut. Salah satunya terkait rekomendasi BPK soal Proyek Pembangunan JTB. “Tentu setiap rekomendasi BPK ini harus dijalankan,” ungkapnya.
Proyek JTB ini termasuk proyek strategis nasional (PSN) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2016. Menelan anggaran negara hingga Rp20 triliun lebih, blok gas yang berada di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur ini mulai dibangun pada 2017. Proyek pembangunan ini sempat mangkrak semasa pandemi, sebelum akhirnya bisa berproduksi menjelang ujung 2022. Uniknya, baru pada Februari 2023, blok gas yang digadang-gadang menyuplai kebutuhan di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini diresmikan.
Proyek Dipaksakan?
Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menegaskan PSN blok gas JTB ini merupakan contoh bahwa pemerintah itu tidak matang dalam merencanakan. Menurutnya, proses pembangunan yang relatif lama dan target yang juga belum tercapai membuktikan penetapan PSN ini bukan berdasarkan strategi. “Tapi berdasarkan para pemilik kepentingan sehingga yang terjadi adalah karena ini bukan rules of law, tapi kepentingan orang-orang tertentu. Ini membuka peluang adanya pihak yang bersalah dalam dugaan korupsi atau penyimpangan terhadap aturan,” ujar Achmad kepada Law-justice, Jumat (15/12).
Menurutnya, proyek JTB ini dibangun tanpa mempertimbangkan analisa pasar yang komprehensif. Pertamina dinilai tidak mengetahui pasokan gas bakal dialirkan kemana. Sehingga produksi terkesan mandek sampai sekarang. “Nah saya kira ini terbukti tidak dilakukan suatu assesment yang proper. Ternyata sudah diproduksi, tapi demandnya tidak ada. Nah ini lagi-lagi menunjukkan suatu gejala bahwa ini proyek yang sebetulnya tidak menguntungkan untuk pertamina,” tutur dia.
“Proyek ini dasarnya bukan meritokrasi, tetapi dipaksakan oleh oknum-oknum tertentu dengan kedekatan dia bersama istana,” ia menambahkan.
Achmad Nur Hidayat Pengamat Ekonomi Politik Narasi Institute. (Media Indonesia)
Ia mewanti-wanti potensi kehilangan pendapatan dari blok gas JTB bisa melebihi temuan BPK. Sebab, lambannya produksi menjadi sinyal ada yang tidak beres dalam hal tata kelola. “Cara-cara seperti ini sangat merugikan negara. Dan ini harus ada tersangkanya, apakah pimpinan proyeknya (atau) Pertamina yang salah memperhitungkan aspek bisnisnya,” kata dia.
Secara implisit, Achmad bilang aktor di balik pengadaan blok gas ini adalah Dirut Pertamina. Dari sana usul blok JTB diusul menjadi PSN. “Konflik kepentingan bisa mulai dari situ. Karena mungkin dia ingin menyenangkan pihak tertentu sehingga dia mengambil atau menetapkan PSN itu. Yang kedua, siapa yang memilih direktur BUMN ini. Itu kan yang memilih Menteri BUMN dan dia punya kolega-kolega tertentu,” ucapnya.
Terkait temuan BPK ini, kami sudah menghubungi Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu. Sejauh ini, belum ada laporan soal dugaan korupsi proyek JTB. “Kami akan baca dulu laporan BPK dan mengkoordinasikan ke tim,” ujar Asep kepada Law-justice, Kamis (15/12/2023).
Pengamat energi sekaligus Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, potensi kerugian yang disinyalir bakal terjadi di proyek JTB sebenarnya bukanlah hal baru. Sebagai BUMN dengan volume bisnis yang besar, Pertamina sejak dulu sudah menjadi sapi perah oligarki. Bagi penguasa, BUMN dengan volume bisnis besar tentunya kue sedap yang mesti dibagi-bagi. Jadi jangan heran kalau kerap ada temuan BPK di BUMN besar, meskipun secara overall dia untung, sebab mereka sudah memperhitungkan menggerogoti daru dalam, tetapi tidak sampai membuat BUMN mencatatkan kerugian. “Di situlah bagimana oligarki berperan. Kerjasama antara politisi, pemerintah dan pengusaha mencari rente dari BUMN seperti Pertamina,” ujarnya.
Dia lantas memberikan contoh bagaimana Presiden Joko Widodo menutup mata dengan penunjukkan Basuki Tjahaya Purnama sebagai Komisaris Utama Pertamina. “Padahal, dia cacat moral, pernah menjadi terpidana, dan paling penting tidak punya backgroun sektor migas. “Dengan dia di sana, kongkalikong bisa terlaksana, bisa terjadi,” ujarnya
Bukan cuma di Pertamina atau BUMN saja, praktik demikian juga terjadi di SKK Migas. “Lihat saja siapa saja yang duduk di sana, bisa terlihat afiliasi politiknya,” ujarya. Perputaran duit di SKK Migas tergolong besar, misalnya dari dari cost recovery atau gross split.
Ini volume bisnis besar, kekuasaan ingin bertahan ingin mendapat rente, lalu bekerja sama dengan pengusaha sehingga membentuk oligarkai. BUMN selalu jadi korban, jadi pihak yang selalu dirugikan. “(Ditambah lagi) Penegakkan hukumnya lemah,” ujar juru bicara Petisi 100 ini.
Di sisi lain, imbuh Marwan, Lembaga pengawasan justru lemah. Kalah perkasa dibanding niat jahat pemburu rente. “Kita bisa lihat sistem dalam menindaklanjuti laporan BPK tidak optimal,” ujarnya.
“Hasil pemeriksaan BPK dalam bentuk IHPS selalu disampaikan ke Pemerintah, DPR dan DPD. Kalau ada temuan, mestinya dilaporkan ke lembaga penegak hukum. Apakah Polisi, Kejaksaan Agung, KPK,” kata Marwan. Sayangnya, ini tidak berlangsung otomatis.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara.
Padahal, BPK adalah lembaga yang dijamin konstitusi, selevel dengan pemerintah dan DPR sebagai lebaga tinggi. Selain itu dana negara untuk opersional BPK juga tidak sedikit untuk menjalankan fungsi audit APBN. BPK mestinya fungsinya lebih dioptimalkan
Menurut dia, jangankan yang sifatnya rutin seperti IHPS, yang sifatnya ivestigatif saja tidak banyak di-follow up oleh aparat penegak hukum. Padahal sudah ada dua unsur pidana yang terpenuhi, pelanggaran hukum dan kerugian negara. “Secara umum itulah yang terjadi, maka saya serukan agar UU BPK direvisi. Beri tambahan kewenangan,” imbuhnya.
UU BPK mesti diubah, agar mendapatkan hasil lebih baik. agar orang yang mengoperasikan dana APBN lebih berhati-hati . Kalau ditemukan hal-hal seperti ini, kalau ada unsur pidana, BPK bisa gerak cepat.
Justru, sekarang fungsi BPK dilemahkan dari dalam. Salah satunya dari kasus jual beli WTP, padahal itu adalah fungsi utama BPK untuk melakukan audit terhadap keuangan negara.
Kuatnya keinginan oligarki memburu rente di BUMN-BUMN dengan volume bisanis besar, nyatanya tidak diantisipasi dengan penguatan sistem pengawasan. Bahkan, proses hukum yang terjadi pun kerap lamban, kalaupun ada. Lebih banyak, potensi kerugian negara di sektore ini tidak berlanjut menjadi kasus hukum. Bisa jadi, ini juga menjadikan sektor ini paling rawan menjadi bancakan. Karena kerap dianggap `aman`.
Padahal, sektor energi terutama migas ini mesti dipandang sebagai sektor strategis yang menyangkut hajat hiduop orang banyak. Bahkan, jika melihat fenomena sosial, umumnya pembangkangan sosial dipicu oleh kenaikan harga BBM yang menggila. Pemerintah mestinya menyadari ini, sebagai salah satu sektor yang menjadi pemasukan terbesar di APBN, sektor energi semestinya menjadi sektor yang paling dijaga.
Sumber: law-justice.co