Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP | Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Presiden Jokowi baru-baru ini menyoroti jumlah pejabat yang dipenjarakan di Indonesia karena korupsi, mengklaim bahwa tidak ada negara lain yang melakukan hal serupa. Pernyataan ini, meskipun mencerminkan upaya keras dalam pemberantasan korupsi, menimbulkan pertanyaan penting: Apakah jumlah penangkapan ini benar-benar mencerminkan keadilan yang efektif?
Kritik ini bukan hanya tentang jumlah, tetapi juga tentang substansi keadilan yang dicapai melalui proses hukum tersebut. Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan apakah penangkapan dan hukuman yang dijatuhkan benar-benar proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. Keadilan dalam kasus korupsi tidak hanya diukur dari banyaknya penangkapan, tetapi juga dari seberapa adil dan berat hukuman yang diberikan.
Ini menjadi penting dalam konteks Indonesia, di mana korupsi telah lama menjadi masalah sistemik yang merugikan pembangunan nasional.
Penelitian oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa banyak koruptor di Indonesia mendapatkan vonis yang relatif ringan. Pada 2021, rata-rata hukuman penjara bagi koruptor hanya 3 tahun 5 bulan, angka yang tidak mencerminkan efek jera yang diharapkan.
Kasus seperti Pinangki Sirna Malasari dan Juliari Batubara, yang mendapatkan vonis ringan, menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam sistem peradilan. Vonis ringan ini tidak hanya mengurangi efektivitas hukuman tetapi juga menimbulkan keraguan tentang integritas proses hukum itu sendiri.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang standar ganda dalam sistem peradilan. Apakah ada faktor lain, seperti status sosial atau politik, yang mempengaruhi keputusan hukum?
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sistem peradilan mungkin tidak sepenuhnya independen atau bebas dari pengaruh eksternal. Akibatnya, publik mungkin kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan, yang pada gilirannya dapat mengikis fondasi demokrasi dan keadilan sosial.
Kasus korupsi yang melibatkan Johnny G. Plate dan Syahrul Yasin Limpo menambah dimensi lain pada diskusi ini. Kedua kasus ini, yang sangat kental dengan muatan politis, menunjukkan bahwa penangkapan tidak selalu terkesan sebagai motif penegakan hukum, melainkan dapat bersifat politis.
Kasus BTS yang melibatkan Johnny G. Plate, misalnya, sudah lama terjadi tetapi penangkapan baru dilakukan setelah partai NasDem menjadi lawan politik. Hal ini menimbulkan persepsi publik bahwa kasus ini mungkin digunakan sebagai alat sandera politik oleh penguasa. Kasus di Kementerian Pertanian (Kementan) yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo juga menimbulkan kecurigaan serupa.
Meskipun kedua kasus ini dibantah memiliki muatan politis, pola penanganannya menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana keputusan hukum dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, penegakan hukum mungkin lebih didorong oleh dinamika politik daripada oleh prinsip keadilan yang objektif.
Kasus-kasus korupsi yang tidak ditangani dengan serius memiliki dampak sosial dan politik yang luas. Masyarakat mungkin kehilangan kepercayaan pada lembaga pemerintahan dan sistem peradilan, yang pada gilirannya dapat mengurangi partisipasi dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Selain itu, korupsi yang tidak terkendali dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial, serta memperdalam ketidaksetaraan. Dampak ini tidak hanya terbatas pada aspek hukum, tetapi juga merambah ke kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah.
Hal ini dapat mengikis kepercayaan pada prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan, yang merupakan fondasi penting bagi masyarakat yang adil dan beradab. Situasi ini menunjukkan perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam penanganan kasus korupsi.
Reformasi ini harus mencakup peningkatan transparansi dalam proses hukum, penguatan independensi hakim dan jaksa, serta peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum untuk menangani kasus korupsi secara efektif dan adil.
Reformasi sistem peradilan harus diarahkan untuk memastikan bahwa semua individu, terlepas dari status atau kekuasaan mereka, diperlakukan sama di hadapan hukum. Ini termasuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan proporsional dengan kejahatan yang dilakukan dan bahwa tidak ada yang kebal dari hukum.
Sumber: neraca.co.id