HARIANTERBIT.com – Pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang pernah diperintahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghentikan penanganan kasus e-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto dan kawan-kawan, adalah persoalan sangat serius yang harus diusut tuntas.

Terkait hal ini, Jokowi pun bisa dipidana dengan alasan menghalangi pemberantasan korupsi. “Meski pengakuan kesaksian ini (Agus Rahardjo) sudah sangat terlambat, namun bagi saya ini tetap harus diusut tuntas. Tidak boleh didiamkan begitu saja,” kata peneliti senior ASA Indonesia Syamsuddin Alimsyah kepada Harian Terbit, Minggu (3/12/2023).

Syamsuddin menjelaskan berdasar keterangan kesaksian Agus Raharjo, maka yang dilakukan Jokowi adalah bentuk kejahatan luar biasa dalam penegakan hukum yang secara nyata melanggar ketentuan hukum pidana.

Jokowi bisa saja dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan secara sadar dan sengaja merintangi atau menghalang-halangi penegakan hukum dalam kasus mega korupsi e – KTP.

“Ingat ini yang turun langsung Presiden lho. Dan dilakukan di Istana, memanggil Ketua KPK seorang diri secara nyata meminta menghentikan. Ini bukti Presiden sesungguhnya memang secara nyata bukan hanya tidak komitmen pemberantasan korupsi, tapi melindungi koruptor. Dan kasusnya sudah ada beberapa ditahan karena terbukti,” ujarnya.

Jadi, lanjut Syam, panggilan akrab Syamsuddin, pengakuan Agus Rahardjo harus diusut tuntas, tidak boleh didiamkan saja.

“Semua harus diusut terang seterang terangnya. Apalagi kasusnya sendiri sebenarnya memang belum tuntas semua. Masih ada beberapa oknum yang diduga terlibat belum diseret ke meja hijau,” tandasnya.

Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat meminta agar KPK independensi dan efektivitas dalam memerangi korupsi. Karena intervensi Istana dalam kasus hukum teramat nyata. Jokowi diduga meminta menghentikan penyelidikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto.

Achmad Nur menilai upaya untuk melemahkan KPK, baik melalui intervensi politik atau perubahan regulasi, secara langsung mengancam integritas dan efektivitas KPK. Padahal KPK samgat perlu adanya independensi penuh tanpa tekanan politik atau intervensi.

Oleh karenanya intervensi politik dalam kasus-kasus korupsi, seperti yang diduga terjadi dalam kasus e-KTP, menimbulkan kekhawatiran serius tentang independensi dan keadilan sistem peradilan.

“Penegakan hukum harus bebas dari pengaruh politik untuk memastikan bahwa semua individu, tidak peduli posisi atau kekuasaannya diperlakukan sama di mata hukum,” tandasnya.

Lebih lanjut Matnur mengatakan, kebijakan dan reformasi hukum yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah korupsi secara efektif, termasuk memperkuat lembaga-lembaga seperti KPK, memastikan independensi peradilan, dan menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel.

“Reformasi ini harus diarahkan untuk meningkatkan kemampuan lembaga dalam memerangi korupsi, bukan sebaliknya,” tandasnya.

Tidak Mengada-ada

Direktur Gerakan Perubahan (Garpu) Muslim Arbi mengatakan, pernyataan Agus Raharjo bahwa Istana intervensi kasus e – KTP adalah benar dan pasti benar serta tidak mengada-ada. Karena Agus tahu betul kalau pernyataan nya itu beresiko kalau dia berbohong atau merekayasa isu tersebut.

“Bahkan menurut Novel Baswedan mantan penyidik senior KPK. Novel yang korban matanya saat di KPK itu bilang pernah mendengar Agus Raharjo mau mundur terkait kasus e-KTP yang diusut KPK. Agus mau mundur agar kasus e-KTP tetap terus di lanjutkan,” ujarnya.

Muslim mengatakan, Jokowi sebagai sumber pelemahan KPK dan sumber korupsi di negeri ini. Dalam hukum, pelindung itu dapat dikatakan pelaku juga,” tegasnya.

Bantah

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana membantah adanya agenda pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua KPK periode 2015–2019 Agus Rahardjo yang membahas proses hukum Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP elektronik.

“Terkait dengan pernyataan Bapak Agus Rahardjo yang disampaikan di sebuah media, saya ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama, setelah dicek tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda presiden,” kata Ari Dwipayana di Gedung Kemensetneg Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan Presiden Jokowi telah menegaskan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang ada di KPK, seraya meyakini bahwa proses hukum itu akan berjalan dengan baik.

Ari mengatakan proses hukum terhadap Setya Novanto yang bergulir pada 2017, akhirnya berproses secara baik hingga berujung pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam kesempatan itu, Ari juga menegaskan bahwa revisi Undang-undang KPK adalah inisiatif DPR yang terjadi pada 2019, atau dua tahun setelah penetapan tersangka terhadap Setya Novanto.

Diketahui dalam sebuah wawancara dengan salah satu tv swasta, Agus Rahardjo mengungkapkan pernah dipanggil dan diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Setya Novanto atau Setnov.

Setnov kala itu menjabat Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, partai politik yang pada 2016 bergabung jadi koalisi pendukung Jokowi. Status hukum Setnov sebagai tersangka diumumkan KPK secara resmi pada Jumat, 10 November 2017.

Sumber: harianterbit.com