Diskusi tentang perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang berlangsung pada tahun 2023 mendatang tampaknya mengundang kontroversi dan kritik dari para ekonom.
Kontrak asli dengan Freeport tidak akan berakhir hingga tahun 2041, yang berarti pembahasan perpanjangan ini diangkat hampir dua dekade lebih awal. Perpanjangan kontrak Freeport hingga 20 tahun lagi dilakukan saat ini sementara jatuh tempo kontrak sebelumnya masih jauh.
Keputusan untuk mengeksplorasi opsi perpanjangan sejak dini ini dapat menimbulkan kecurigaan, terutama mengenai motivasi sebenarnya di balik langkah tersebut.
Ketimbang didasari oleh studi mendalam dan perencanaan strategis, langkah ini dapat dipandang sebagai usaha yang terburu-buru yang mungkin dikaitkan dengan upaya mencari pendanaan untuk kepentingan lain, seperti kampanye politik, daripada mengejar keberlanjutan ekonomi dan keuntungan jangka panjang untuk negara.
Aroma kepentingan politisnya sangat kuat sehingga keputusan perpanjangan kontrak Freeport di tahun politik 2023-2024 ini harus ditolak.
Lebih jauh, proses negosiasi dan kesepakatan perpanjangan kontrak harus dilakukan dengan penuh transparansi dan melibatkan partisipasi publik.
Transaksi yang dilakukan secara tertutup dan hanya melibatkan sekelompok kecil pihak dapat menimbulkan keraguan mengenai integritas dan keadilan dari kesepakatan tersebut.
Ketika berbicara tentang kekayaan alam yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, wajar jika setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dalam mengelola sumber daya ini harus dipertimbangkan dengan matang dan diumumkan secara terbuka.
Sejalan dengan prinsip-prinsip ini, pembahasan tentang perpanjangan kontrak idealnya seharusnya dilakukan mendekati akhir periode kontrak yang berlaku.
Dengan memulai pembicaraan 1-2 tahun sebelum kontrak berakhir, negara memiliki kesempatan untuk melakukan analisis menyeluruh tentang kinerja Freeport dan memastikan bahwa keputusan apapun yang dibuat benar-benar menguntungkan rakyat dan ekonomi Indonesia.
Dan selama masa kontrak yang masih tersisa 18 tahun ini masih banyak yang bisa dipersiapkan oleh Indonesia untuk bisa mengelola tambang freeport tersebut secara mandiri. Seharusnya presiden Jokowi yang masa jabatannya akan berakhir dalam hal ini harus memberikan kesempatan kepada pemerintahan berikutnya untuk bisa mempersiapkan solusi yang lebih baik.
Yang jadi persoalan juga adalah cadangan emas terbukti Freeport di Indonesia adalah 26,3 juta troy ons, setara dengan operasi 15 tahun. Cadangan terbukti tembaga Freeport di Indonesia adalah 30,8 miliar pound, setara dengan operasi 20 tahun. Hal ini membuat perpanjangan kontrak 20 tahun setelah jatuh tempo di tahun 2041 semakin menjadi misteri.
Keputusan yang terburu-buru dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dapat membawa dampak signifikan terhadap fleksibilitas strategis negara dalam mengelola sumber daya alamnya.
Dengan mengikatkan diri pada perjanjian jangka panjang tanpa analisis menyeluruh, negara berpotensi kehilangan kesempatan untuk menyesuaikan ketentuan kontrak dengan kondisi ekonomi global yang berubah-ubah dan kebutuhan pembangunan nasional di masa depan.
Perjanjian yang telah disepakati akan menjadi kerangka kerja hukum yang mengatur hubungan antara Indonesia dan Freeport untuk jangka waktu yang telah ditetapkan. Ini berarti bahwa setiap ketentuan yang mungkin tidak lagi menguntungkan negara di masa depan akan sulit untuk diubah atau dinegotiasikan ulang.
Dengan demikian, negara bisa saja terjebak dalam kondisi yang tidak menguntungkan jika situasi pasar berubah, seperti fluktuasi harga komoditas, atau jika terjadi kemajuan teknologi yang memungkinkan ekstraksi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Selain itu, perpanjangan kontrak yang prematur bisa membatasi kemampuan Indonesia untuk merespons kebijakan internal dan tantangan lingkungan yang berkembang.
Sebagai contoh, jika di masa depan terdapat kebutuhan untuk meningkatkan standar lingkungan atau memperbaiki syarat-syarat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal, perjanjian yang telah ada mungkin tidak menyediakan ruang yang cukup untuk penyesuaian tersebut.
Pada akhirnya, perpanjangan kontrak yang tidak didasari oleh pertimbangan matang dan transparansi dapat mengikat tangan negara, mengurangi daya tawarnya, dan membatasi kemampuan untuk mengambil keputusan yang sejalan dengan kepentingan nasional di masa depan. Hal ini bisa berdampak pada potensi hilangnya manfaat ekonomi yang lebih besar dan kesempatan untuk pengembangan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)