Pembahasan biaya haji tahun 2024 oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR RI memunculkan kritik terhadap kebijakan yang seharusnya mendukung keberpihakan kepada rakyat.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VIII di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kemenag mengusulkan besaran anggaran biaya haji per jamaah sebesar Rp 105 juta.
Meski harapannya adalah biaya haji menjadi lebih terjangkau, kenyataannya pemerintah masih bergantung pada sistem sewa yang jelas tidak mengakomodasi kepentingan jamaah.
Biaya Haji Indonesia Rp105 juta/jamaah, jauh lebih mahal dari Malaysia yaitu Rp102,5 juta/jamaah. Padahal semakin banyak jamaah seharusnya biaya haji dapat ditekan lebih murah lagi. Jamaah Haji Indonesia 2024 lebih banyak 7,6 kali lipat daripada Jamaah Malaysia sebesar 31,600 jamaah bandingkan dengan 241 ribu jamaah Indonesia. Jelas bahwa penyelenggaraan Haji Indonesia tidak efesien, tidak efektif dan tidak berhemat seperti halnya penyelenggara Haji Malaysia.
Ketidakmampuan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan pro rakyat dengan menggunakan sistem kepemilikan bersama menjadi sorotan kritis. Sistem sewa, yang terus digunakan, justru dinilai tidak efisien dan tidak mendukung upaya mengurangi beban finansial jamaah haji.
Seharusnya, kebijakan yang pro rakyat seharusnya lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Sistem Sewa Lebih Mahal daripada Sistem Kepemilikan Bersama (shareholders), kenapa masih dipilih?
Ada skema yang menjadikan biaya haji akan semakin murah setiap tahun, hanya saja ini membutuhkan policy makers (KEMENAG-BPKH) yang tidak malas dan mau memberikan layanan terbaik kepada jamaah haji.
Skema yang digunakan saat ini adalah sistem sewa dimana dalam sistem sewa biaya akan meningkat terus setiap tahun terutama untuk biaya pesawat terbang (maskapai) dan biaya akomodasi yang menyusun hampir 60% total biaya haji setiap tahun.
Ada skema lain yang dapat diandalkan agar biaya haji setiap tahun lebih murah yaitu skema kepemilikan bersama (shareholders).
Sistem sewa untuk biaya haji cenderung lebih mahal karena biaya tetap yang tinggi dan kurangnya kontrol atas aset seperti pesawat dan akomodasi. Dalam sistem ini, biaya sewa harus dibayar penuh meskipun ada perubahan permintaan atau kondisi pasar, dan tidak ada akumulasi nilai atau ekuitas dalam aset.
Sebaliknya, sistem kepemilikan bersama menawarkan pembagian biaya di antara pemegang saham, mengurangi beban per individu. Ini juga memungkinkan manfaat dari apresiasi aset, kontrol strategis atas penggunaan aset, dan fleksibilitas dalam manajemen, seperti menyewakan aset saat tidak digunakan.
Kepemilikan bersama juga memberikan perlindungan terhadap inflasi dan fluktuasi pasar, namun memerlukan investasi awal yang besar dan manajemen efektif serta policy makers yang smart, kreatif dan tidak malas.
Dalam sistem kepemilikan bersama, biaya aset dibagi di antara semua pemegang saham, yang bisa secara signifikan mengurangi beban biaya per individu atau entitas.
Jika nilai aset meningkat, pemegang saham mendapat manfaat dari apresiasi tersebut, yang bisa menjadi sumber penghasilan atau penghematan biaya di masa depan.
Untuk itu Kemenag dituntut untuk kreatif agar bisa mewujudkan hal tersebut. Jika kemenag mempersulit orang melaksanakan ibadah haji dengan berbagai macam kebijakan, artinya pemerintah tidak pro terhadap rakyat dan tidak amanah dalam menjalankan konstitusi.
Dalam hal ini beberapa solusi yang bisa membuat biaya haji menjadi murah, sebagai berikut
Pertama, jangan menginvestasikan dana haji di sektor yang nilai returnnya kecil. BPKH harus punya target berapa nilai return yang dibutuhkan untuk tahun ini.
Jadi, mulailah dengan investasi langsung dengan porsi yang signifikan. BPKH bisa membeli tanah dan membangun hotel yang bagus di Saudi dekat Mekah dan mesjid Nabawi menggunakan dana kelolaan itu kemudian mengoperasikannya untuk kepentingan jamaah.
Jika di saat musim haji bisa digunakan untuk jamaah sehingga operasional haji menjadi berkurang karena hotel itu milik punya Indonesia. Selain untuk haji juga bisa dipakai untuk umroh dimana mendatangkan return juga yang bisa memberikan nilai manfaat yang tinggi.
Kedua, Kerjasama dengan Bank Indonesia karena komponen besar dalam biaya haji adalah biaya kurs. Indonesia harus memegang US$ dan Riyal Saudi sehingga perlu adanya kerjasama antara BPKH, Kementerian Agama dan BI berembuk untuk mencari angka win-win solution untuk menstabilkan kurs sehingga kurs bisa terjaga saat pemberangkatan.
Ketiga, bisa bekerjasama dengan maskapai. BPKH berinisiatif membeli kepemilikan salah satu maskapai sehingga biaya penerbangan bisa memberikan nilai manfaat.
Keempat, BPKH bisa menempatkan dana haji disektor sawit dan sektor hilirisasi contohnya pertambangan. Ini juga dilakukan oleh Malaysia dimana perkebunan sawit yang secara transparan didanai oleh dana haji dan manfaatnya dikembalikan lagi kepada jamaah.
Kesimpulan
Sistem kepemilikan bersama tidak hanya menawarkan pembagian biaya yang adil di antara pemegang saham, tetapi juga membuka peluang manfaat dari apresiasi aset, kontrol strategis, dan fleksibilitas manajemen. Dalam konteks biaya haji, penggunaan sistem ini dapat secara signifikan mengurangi beban finansial per individu atau entitas.
Meskipun memerlukan investasi awal yang besar, keberhasilan sistem kepemilikan bersama terletak pada manajemen efektif dan kebijakan yang cerdas dari para pembuat kebijakan. Keuntungan jangka panjang dari apresiasi aset tidak hanya dapat menjadi sumber penghasilan, tetapi juga memungkinkan penghematan biaya di masa depan.
Dengan kata lain, walaupun ada tantangan dalam investasi awal, manajemen efektif dan kebijakan yang bijak dapat membuat sistem kepemilikan bersama menjadi solusi yang berkelanjutan dan menguntungkan. Sebagai alternatif terhadap sistem sewa yang cenderung mahal, sistem kepemilikan bersama menawarkan potensi untuk mendorong transparansi, keadilan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta