Sejumlah tokoh nasional mendukung gerakan nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Mereka pun membuat petisi “HENTIKAN RELOKASI DAN LINDUNGI HAK TINGGAL MASYARAKAT PULAU REMPANG”.

Petisi ini digagas oleh para tokoh bangsa, guru besar, dan akademisi terkemuka di Indonesia. Achmad Nur Hidayat, CEO Narasi Institute dan Ekonom UPN Veteran Jakarta, sebagai inisiator petisi, menyatakan, petisi ini merupakan bentuk kepedulian ilmuwan terhadap hak tinggal masyarakat Pulau Rempang.

Menurutnya, saat ini warga Rempang telah dipecah belah dengan janji kompensasi hunian, dan sebagian besar menolak.

Oleh karena itu pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa hak atas tanah di Pulau Rempang telah diberikan kepada perusahaan sejak 2001-2002 menimbulkan kontroversi.

“Mahfud MD, menjelaskan bahwa negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, kepada sebuah perusahaan berdasarkan surat keputusan (SK) yang dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002. Namun, pada tahun 2004, hak tersebut diberikan kepada pihak lain,” jelas Nur Hidayat di Jakarta, Senin (18/9/2023).

Dia memaparkan, situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada tahun 2022 dan menemukan tanah tersebut sudah ditempati. Apalagi Mahfud MD juga menegaskan bahwa proses pengosongan tanah saat ini menjadi sumber konflik, bukan hak atas tanahnya.

“Terkait status tanah yang mungkin merupakan tanah ulayat, Mahfud MD mengaku tidak mengetahuinya dan menyarankan untuk memeriksa data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” tandasnya.

Berpihak ke Investor

Sementara itu, Prof. Didin S Damanhuri, penggagas petisi, juga menilai pernyataan Mahfud MD tersebut ahistoris. Karena warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834.

Oleh karenanya Mahfud MD cenderung berpihak kepada investor dan hanya berdasarkan pada data formal yang bisa direkayasa oleh pemodal besar.

“Mahfud MD cenderung berpihak kepada investor dan hanya berdasarkan pada data formal yang bisa direkayasa oleh pemodal besar,” ujar Prof Didin S Damanhuri yang juga Guru Besar Ekonomi Politik.

Prof. Didin menekankan pentingnya Indonesia menjaga sikap non-aliansi dan berfokus pada kesejahteraan rakyat. Apalagi warga Rempang telah menempati pulau tersebut sejak 1834, sehingga mereka memiliki Hak Ulayat yang harus dihormati oleh pemerintah.

Dia menekankan bahwa pulau-pulau di sekitar Batam sangat strategis untuk investasi karena kedekatannya dengan Singapura dan Malaysia.

“Selain itu, pulau-pulau tersebut juga menjadi target investor dari RRC, terkait klaim historis mereka di Laut China Selatan,” paparnya.

Didin menegaskan, dengan semakin banyaknya dukungan dari berbagai pihak, maka gerakan ini diharapkan dapat menjadi titik balik dalam perlindungan hak-hak warga Pulau Rempang dan menjadi sorotan nasional.

Gerakan ini tidak hanya menjadi sorotan di Indonesia, tetapi juga diharapkan dapat mendapatkan perhatian internasional.

“Dengan dukungan yang terus meningkat, masyarakat optimis bahwa suara mereka akan didengar dan hak-hak mereka akan dilindungi. Dengan kekuatan media sosial dan dukungan dari tokoh-tokoh nasional, gerakan ini diharapkan dapat mencapai tujuannya dan memberikan keadilan bagi warga Pulau Rempang,” tandasnya.

Perampasan

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Dr Anthony Budiawan, penggagas petisi, juga menilai pernyataan Mahfud MD sebagai tidak jelas dan cenderung berpihak pada investor.

Dia menyoroti perjanjian 2004 yang menyatakan Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan, namun kini tampak adanya upaya “perampasan” hak tanah warga.

“Mahfud MD memberikan pernyataan yang tidak jelas dan tidak berguna. Hak tanah warga setempat yang telah tinggal sejak lama tidak boleh dirampas demi investasi,” jelasnya.

Anthony Budiawan mempertanyakan siapa yang diberi hak atas tanah sejak 2001-2002 dan apakah itu merujuk pada PT MEG. Dia mengutip perjanjian antara Otorita Batam, Pemko Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2004 yang menyatakan bahwa Kampung Tua di Pulau Rempang harus dipertahankan.

“Kini tampaknya ada upaya ‘perampasan’ hak tanah warga oleh investor dengan dukungan pemerintah. Ini sebagai bentuk ‘kolonialisme’ modern dan menyerukan agar dihentikan,” jelasnya.

Dukungan lainnya juga datang dari tokoh-tokoh nasional seperti Imam Besar Front Persaudaraan Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS), Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah; Prof. Didin S Damanhuri, Guru Besar IPB dan Universitas Paramadina;

Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Teknologi Kelautan ITS, Surabaya; Prof. Masroro Lilik Ekowanti, Guru Besar Universitas Hang Tuah Surabaya; Prof. Prijono Tjiptoherijanto, Guru Besar Universitas Indonesia; Prof. Yudhie Haryono Ph.D, Ketua PKPK UMP; Prof. Zainal Muttaqin, Guru Besar Universitas Diponegoro; Prof. Dr. Drg. H. Ardo Sabir, M.Kes,

Guru Besar Universitas Hasanuddin; Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta; dan Prof. Ir. Joni Hermana, Msces, Phd, Rektor Senior ITS Surabaya, Dr Anthony Budiawan, Managing Director PEPS, Dr Fadhil Hasan, Dr Muhamad Said Didu dan banyak ekonom lainnya.

Dengan dukungan dari tokoh-tokoh terkemuka ini, gerakan ini diharapkan dapat membawa perubahan nyata bagi warga Pulau Rempang. Indonesia, dengan posisinya yang strategis, harus waspada terhadap potensi ambisi teritorial dari negara-negara besar.

Dalam konteks ini, #LindungiRempang menjadi tagar yang diharapkan dapat menjadi gerakan nasional dan mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Dengan semangat persatuan dan keadilan, Indonesia diharapkan dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini tetap berkomitmen untuk melindungi hak-hak warganya.

Terpisah, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengunjungi Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (18/9) dalam rangka mendengar usulan warga Rempang terkait relokasi. Bahlil berjanji mengedepankan hak warga asli Pulau Rempang.

Presiden Tegas

Presiden RI Joko Widodo secara tegas meminta aparat keamanan tidak bertindak represif kepada masyarakat, khususnya berkaitan dengan proyek strategis nasional.

“Ini selalu saya ingatkan jangan malah menggunakan pendekatan-pendekatan yang represif kepada masyarakat,” kata Joko Widodo dalam arahannya pada acara Pembukaan Sewindu Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 di Jakarta, Rabu.

Pernyataan Presiden itu menyoal proyek-proyek strategis nasional yang terhambat masalah. Jokowi menginginkan masyarakat senang jika ada ganti untung yang diberikan oleh Pemerintah.

Sumber: harianterbit.com