Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tinggi, dengan segala cara terus berupaya meningkatkan kualitas dan efisiensi penggunaan energi. Dalam beberapa asyar terakhir, kebijakan BBM di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan signifikan, mulai dari penghapusan BBM bersubsidi hingga pengenalan jenis BBM baru yang diklaim lebih ramah lingkungan. Namun, di balik perubahan tersebut, muncul berbagai pertanyaan kritis mengenai sejauh mana kebijakan ini benar-benar berpihak pada rakyat dan lingkungan.
Salah satu perubahan yang cukup kontroversial adalah transisi dari Premium ke Pertalite, yang diikuti dengan rencana penggantian Pertalite dengan Pertamax Green. Meskipun alasan utama di balik perubahan ini adalah untuk mengurangi emisi dan polusi udara, banyak pihak yang melihat adanya motif bisnis yang kuat di balik kebijakan tersebut.
“Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah transisi ini benar-benar memberikan manfaat bagi asyarakat luas atau hanya menguntungkan segelintir pihak? Atau hanya akan menguntungkan para pebisnis yang bermain di sektor ini dan orang-orang yang ada didalamnya,” ujar Achmad Nur Hidayat, MPP, Pengamat Ekonomi yang juga Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute, seperti dalam keterangan tertulisnya, Rabu (13/9).
Selain itu, dengan munculnya Pertamax Green yang mengandung etanol, Indonesia berada di persimpangan jalan antara mendukung produksi lokal atau malah terjebak dalam siklus impor yang tak berkesudahan. “Meskipun etanol dapat diproduksi di dalam negeri, pasokannya yang terbatas dan potensi harga yang lebih tinggi dari Pertalite menimbulkan kekhawatiran akan dampak ekonomi yang lebih luas, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mendalami dan memahami dampak sebenarnya dari kebijakan BBM terbaru ini bagi rakyat Indonesia,”ujarnya lagi.
Karena menurut Achmad, Diperkirakan harga Pertamax Green akan lebih tinggi dari Pertalite. Sementara, kenaikan harga BBM memiliki efek domino pada ekonomi karena inflasi, kenaikan harga barang dan jasa, dan penurunan daya beli masyarakat. “Kalau kebijakan ini mulai dijalankan tentu lagi lagi dalam jangka panjang, masyarakat menengah ke bawah yang akan paling terdampak,” cetusnya.
Oleh karenanya, Achmad menyarankan, Pemerintah dan Pertamina harus memastikan transparansi penuh dalam penetapan harga BBM. Masyarakat berhak mengetahui komponen biaya apa saja yang mempengaruhi harga jual, termasuk biaya produksi, impor, dan margin keuntungan. “Dengan transparansi, masyarakat dapat memahami alasan di balik setiap kenaikan harga dan memastikan bahwa kebijakan harga dibuat dengan pertimbangan yang adil,” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi menegaskan, rencana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite dengan pengganti Pertamax Green 92 untuk menekan emisi zat karbon dinilai belum optimal. “Ini kebijakan yang tidak efektif dalam menekan polusi udara dan menjadi blunder bagi pemerintah,” kata Fahmi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, penggunaan Pertamax Green 92 tetap saja memberikan sumbangan polusi udara karena tidak masuk dalam standar Euro 4.

Diketahui, spesifikasi sesuai standar Euro 4 adalah bahan bakar bensin dengan kadar oktan tinggi 95 hingga 98, bebas timbal dan kandungan sulfurnya maksimum 50 ppm.
Dari spesifikasi itu bisa dipastikan Pertalite bukan bahan bakar mobil Euro 4 karena kadar oktannya lebih rendah yakni berada diangka 92. “Saat ini pertamax yang masuk standar Euro 4 adalah Pertamax Turbo yang menjadi produk unggulan Pertamina,” jelasnya.
Pertamax Turbo sendiri memiliki kandungan RON 98 dan kandungan sulfurnya content di bawah 50 ppm sehingga Pertamax Turbo bisa menghasilkan gas buang dengan kadar karbon rendah​.
Sebaiknya kata dia, Pertamina untuk fokus pengembangan program energi terbarukan dalam mencapai Net Zero Emission, antara lain melalui pengembangan PLTP, pemanfaatan Biosolar yang akan memulai implementasi Bioetanol pada Semester II 2023 ini.
Termasuk produk Gasoline dan Gasoil. Untuk Gasoline misalnya BBM memiliki angka RON (Research Octane Number) berbeda mulai dari RON 88 sampai 100.
Sumber: neraca.co.id