Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang dengan populasi yang besar, tentu menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks. Ditambah lagi dengan kebijakan PT Pertamina (Persero) yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi di SPBU. Meskipun terdengar sederhana, kebijakan ini memiliki dampak luas yang bisa menggoyahkan perekonomian nasional.

Pertama, mari kita cermati beberapa data. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) melambat selama tiga bulan berturut-turut, menandakan permintaan yang merosot. Adapun Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) untuk Juli 2023 adalah 123,5, turun dari bulan sebelumnya. Kedua indeks tersebut memberikan gambaran yang jelas bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang dalam tren penurunan. Dengan kenaikan harga BBM, apa yang akan terjadi?

Dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM tentunya akan mempengaruhi biaya hidup masyarakat. Semua sektor, mulai dari transportasi, logistik, hingga harga pangan, akan terkena dampak. Biaya transportasi yang naik akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa lainnya. Ini adalah efek domino yang tidak dapat dihindari.

Namun, dampak jangka panjangnya lebih mengkhawatirkan. Kenaikan harga BBM bisa menurunkan minat konsumen untuk berbelanja, mengingat biaya transportasi dan harga barang yang naik. Hal ini akan memperparah penurunan daya beli yang sudah ada. Dengan daya beli yang semakin lemah, industri dalam negeri akan kesulitan meningkatkan produksi dan penjualan mereka. Ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja, yang tentunya akan meningkatkan angka pengangguran.

Pertanyaannya adalah, mengapa PT Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga BBM di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil? Memang, PT Pertamina memiliki alasan bisnis untuk menyesuaikan harga BBM. Namun, dalam skenario ekonomi makro, pemerintah dan BUMN harus memprioritaskan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan laporan OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya sebesar 4,7% untuk tahun ini. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi kita terbilang lambat. Pemerintah seharusnya fokus pada pemulihan ekonomi, bukan menambah beban dengan kenaikan harga BBM.

Tentu saja, Pertamina memiliki argumen bahwa mereka perlu menyesuaikan harga dengan pasar global dan fluktuasi harga minyak dunia. Namun, di saat yang sama, pemerintah bisa mencari solusi lain untuk menstabilkan harga BBM, misalnya dengan memberikan subsidi atau insentif lainnya kepada Pertamina.

Sebagai pakar kebijakan publik, saya melihat bahwa kenaikan harga BBM ini adalah refleksi dari kebijakan pemerintah yang kurang memprioritaskan rakyat kecil. Kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan semua aspek, termasuk dampak sosial dan kesejahteraan masyarakat. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat menderita?

Untuk itu, saya menyerukan kepada pemerintah dan Pertamina untuk merevisi kebijakan ini. Jangan biarkan rakyat kecil terus menderita di tengah ketidakpastian ekonomi. Sebagai negara demokrasi, kebijakan publik harus mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat berhak tahu mengapa kebijakan ini diambil dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian nasional. Pemerintah harus berkomunikasi dengan jelas dan terbuka kepada masyarakat.

Akhir kata, kebijakan kenaikan harga BBM ini adalah ujian bagi pemerintah kita. Apakah mereka memprioritaskan kepentingan bisnis atau kesejahteraan masyarakat? Saya berharap pemerintah akan memilih yang terakhir. Sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, kita harus mampu memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.

Oleh Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ dan CEO Narasi Institute