PT Makmur Elok Graha (MEG), entitas anak dari Grup Artha Graha milik pengusaha TW, diduga telah dengan semena-mena mengklaim hak eksklusif atas Rempang Eco City. Mereka dengan bangga mengumumkan sertifikat hak guna bangunan seluas 16.583 ha selama 80 tahun, tanpa menghiraukan riwayat tanah tersebut. Pulau Rempang bukanlah sekadar lahan kosong yang siap dikomersilkan; ia adalah rumah bagi masyarakat yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, yang kini melihat warisan dan sejarah mereka diancam oleh ambisi korporat.
Sejak Agustus 2004, rencana untuk mengembangkan Pulau Rempang memang telah ada. Tapi, proyek ini terhenti pada satu titik karena dugaan korupsi, sebuah narasi yang terlalu sering kita dengar dalam proyek-proyek besar di tanah air. Namun, rupanya niat eksploitasi ini tidak padam. PT MEG, dengan dukungan Kepala BP Batam, dengan nekat memforsir agenda mereka, berupaya menjadikan Pulau Rempang sebagai mesin ekonomi baru Indonesia dengan investasi masif.
Di balik retorika kemajuan dan lapangan kerja, ada kenyataan pahit: penggusuran paksa dan penghilangan sejarah serta kultur. Proses penggusuran yang dilakukan bukanlah hal yang simpatik; itu brutal, represif, dan melukai hati masyarakat yang warisan budaya dan sejarahnya dilecehkan.
Adapun rencana kerjasama dengan produsen kaca raksasa dari China, Xinyi Glass Holdings Ltd., bukanlah pembenaran. Ya, mereka mungkin berinvestasi besar di Kawasan Industri Rempang dan berambisi besar, tapi apa artinya semua itu jika harga yang harus dibayar adalah kehilangan sejarah dan identitas masyarakat asli Rempang?
Pulau Rempang bukan sekadar lahan. Ini adalah saksi sejarah, tempat dimana masyarakat telah bermukim sejak sebelum kemerdekaan. Mereka bukanlah penghuni sementara yang bisa dengan mudah digeser. Tidak ada investasi yang cukup berharga untuk menghapus jejak sejarah dan kultur masyarakat Rempang.
Namun, ketika suara-suara protes muncul, ketika masyarakat Rempang berdiri teguh melawan penggusuran, mereka ditemui dengan kebrutalan. Demonstrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi berubah menjadi medan pertempuran, dengan enam orang terluka dan 45 lainnya ditahan. Ini bukanlah wajah Indonesia yang kita kenal. Ini adalah cerminan dari bagaimana korporasi dan kepentingan tertentu mendahului hak dan kemanusiaan.
Penggunaan kekuatan secara represif terhadap masyarakat, dalam upaya penggusuran, adalah tindakan yang tak hanya tidak bermoral, tetapi juga melanggar hak-hak dasar kemanusiaan. Mereka yang berdiri di garis depan, mempertahankan tanah leluhur mereka, bukanlah penghalang bagi kemajuan, melainkan pelindung warisan budaya yang tak ternilai harganya. Mereka berhak atas kepastian hukum, penghormatan, dan keadilan.
Investasi seharusnya membawa manfaat bagi seluruh elemen masyarakat, bukan hanya menguntungkan segelintir investor. Tidak ada alasan yang cukup adil untuk mengorbankan hak dan keberlanjutan hidup masyarakat demi keuntungan finansial jangka pendek. Sebuah negara yang adil dan maju sejati adalah negara yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakatnya, terutama mereka yang rentan dan marjinal. Di dalam konteks Rempang, kesejahteraan dan hak masyarakat asli harus selalu menjadi prioritas.

Pada 2023, beredar kabar bahwa PT MEG, salah satu perusahaan di bawah Grup Artha Graha, memindahkan operasionalnya ke kawasan Orchard Park Batam. Hal ini semakin mempertegas bahwa ada niat kuat dari pihak TW untuk menggarap lahan di Pulau Rempang secara maksimal.
Namun, tidak semua proyek yang dipegang oleh TW berjalan mulus. Sepanjang karirnya, berbagai proyek yang ia genggam mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Sebagai contoh, proyek reklamasi Teluk Benoa yang sempat menggemparkan masyarakat Bali. Penolakan masyarakat setempat terhadap proyek tersebut menjadi bukti bahwa tidak semua kepentingan bisnis dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat, terutama jika menyangkut isu-isu lingkungan dan keberlanjutan.
Hadi Tjahjanto, selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, menyatakan bahwa lahan tersebut tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Meskipun demikian, apakah hanya berdasarkan status hukum yang tertera di atas kertas, hak-hak masyarakat asli dapat dengan mudah diabaikan?
Terkadang, kebijakan pemerintah terjebak dalam kerangka birokrasi, mengabaikan lapisan sejarah yang mendalam. Pemerintah tampaknya telah luput dalam menilai sejarah keberadaan masyarakat Rempang yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Mengesampingkan sejarah panjang sebuah komunitas adalah kesalahan yang fatal.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mendapat perintah langsung dari Presiden Joko Widodo terkait kericuhan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Sebagai respon, Jenderal Listyo telah memutuskan untuk kembali menggelar langkah komunikasi dengan warga setempat. Dia menyerukan agar semua pihak, baik warga maupun pemerintah, tetap tenang dan bersama-sama membahas masalah-masalah yang muncul demi menemukan solusi terbaik.
Tak hanya itu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, juga dijadwalkan akan turun langsung ke Pulau Rempang untuk turut serta dalam proses komunikasi dengan warga, agar bisa mendengar langsung aspirasi dan keluhan masyarakat. Hal ini terkait erat dengan proyek Rempang Eco City yang akan menjadi lokasi pembangunan pabrik oleh Xinyi Glass Holdings Ltd, salah satu produsen kaca terbesar asal China. Produsen ini berencana membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa dengan nilai investasi mencapai US$11,5 miliar, menjadikannya pabrik kaca kedua terbesar di dunia setelah di China.
Ekspektasi yang tinggi dari pembangunan pabrik tersebut, di antaranya adalah pembukaan lapangan kerja baru yang tentunya bisa meningkatkan ekonomi lokal Batam. Listyo Sigit Prabowo yakin bahwa warga setempat akan dapat memahami tujuan dari pembangunan tersebut jika disampaikan dengan baik dan benar. Untuk itu, pendekatan komunikasi yang akan dilakukan Kapolri bersifat edukatif dan persuasif, melibatkan musyawarah bersama warga, tanpa adanya tindakan represif.
Meski begitu, pihak kepolisian tetap melakukan antisipasi dengan menempatkan beberapa personel di lokasi. Langkah ini diambil untuk mencegah adanya provokasi atau potensi pelanggaran hukum lainnya yang bisa merusak suasana. Namun, kritik muncul terhadap kapolri dengan beberapa pihak menilai bahwa respon ini terlambat. Pasalnya, tindakan represif sudah terjadi dan yang diperlukan saat ini adalah langkah konkret dari kepolisian untuk melepaskan semua demonstran yang ditangkap demi mendinginkan suasana yang memanas.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP, Ekonom dan CEO Narasi Institute
Sumber: neraca.co.id