Kualitas udara Jakarta yang terus memburuk dalam menjadi perhatian Presiden Jokowi.

Presiden RI, Joko Widodo, menyampaikan kualitas udara di Jabodetabek yang selama satu pekan terakhir mendapat nilai yang sangat sangat buruk, kualitas udara (air quality index/AQI) di DKI Jakarta berada di angka 156 dengan keterangan tidak sehat.

Jokowi menyinggung masalah WFH yang mungkin bisa diterapkan sebagai salah satu upaya menghadapi dan mengurangi dampak buruknya kualitas udara di Jakarta ini. Namun Jokowi tidak memaparkan bagaimana WFH tersebut diimplementasikan. WFH yang akan diberlakukan mulai September 2023 mendatang diprediksi tidak akan mengurangi polusi udara di Jakarta.

Pemerintah menyakini WFH bisa menjadi kunci penyelesaian masalah polusi udara di DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun, WFH perlu insentif lain tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing perusahaan.

Bagaimana perusahaan-perusahaan bisa mengadopsi kebijakan tersebut dan sejauh mana penerapan WFH dapat membawa dampak yang signifikan?”

Sekalipun pemerintah berusaha keras mempromosikan WFH sebagai solusi, keraguan terhadap keefektifan langkah ini muncul. Salah satunya adalah ketidakpastian apakah perusahaan-perusahaan akan mengadopsi kebijakan ini secara luas. Selain itu juga apakah WFH akan benar-benar mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan signifikan.

Ada beberapa aspek yang harus menjadi bahan pertimbangan,

Pertama, meskipun WFH dapat mengurangi jumlah kendaraan dari rumah ke kantor, dampaknya mungkin terbatas. Sebagian besar polusi udara di Jakarta berasal dari kendaraan bermotor. Bisa jadi karyawan yang statusnya bekerja WFH namun mereka tetap menggunakan kendaraannya untuk berbelanja, saling berkunjung. Tingkat kedisiplinan para pekerja tersebut untuk tetap dirumah sangat sulit dicapai. Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah WFH berlaku namun tidak mengurangi mobilitas kendaraan bermotor bahkan karena WFH akan menambah kemacetan di Jakarta terutama di tempat-tempat berbelanja dan wisata.

Kedua, Kontribusi polusi yang besar lainnya di Jakarta adalah polusi udari dari kawasan Industri disekitar Jakarta. WFH untuk mengurangi polusi udara akan sia-sia manakala polusi dari kawasan industri jabotabek tidak ikut berkurang.

Ketiga, penerapan WFH secara luas dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. WFH yang terlalu ketat akan mematikan ekonomi kecil seperti seperti usaha kuliner, transportasi umum, dan sektor ritel. Langkah ini perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak mengganggu ekonomi lokal.

Beberapa hal yang bisa menciptakan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi polusi udara di Jakarta adalah memberikan insetif bagi terwujudnya sebagai berikut:

Pertama, Diversifikasi Sumber Energi

Beralih ke sumber energi bersih dan terbarukan untuk keperluan energi, seperti listrik dan transportasi, dapat mengurangi kontribusi polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil.

Kedua, Investasi dalam Transportasi Publik

Pengembangan dan perluasan sistem transportasi publik yang efisien, nyaman, dan terjangkau dapat mendorong lebih banyak orang untuk beralih dari kendaraan pribadi, mengurangi lalu lintas dan emisi.

Ketiga, Pemberlakuan Standar Emisi yang Ketat

Menegakkan standar emisi yang lebih ketat untuk kendaraan bermotor dapat mengurangi polusi langsung dari sumbernya.

Keempat, Kampanye Kesadaran Publik

Mengedukasi masyarakat tentang dampak polusi udara dan pentingnya partisipasi dalam solusi berkelanjutan dapat memicu dukungan lebih luas dan perubahan perilaku.

Upaya untuk mengatasi masalah polusi melalui kebijakan WFH perlu diperhitungkan dengan seksama. Kendati berpotensi sebagai solusi, langkah ini harus didukung oleh insentof lain termasuk untuk perusahaan, dan masyarakat lainnya yang terdampak.

Dalam menjalankan WFH, kesadaran individu untuk mengurangi mobilitas kendaraan pribadi dan kolaborasi lintas sektor akan menjadi faktor penentu dalam menentukan apakah langkah ini benar-benar efektif dalam menanggulangi polusi udara di Jakarta dan mendorong perubahan positif dalam lingkungan perkotaan secara keseluruhan.

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP | Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute