Presiden Joko Widodo telah mengumumkan insentif lebih besar untuk investor di Ibu Kota Nusantara. Hak Guna Usaha (HGU) kini berlaku hingga 95 tahun, meningkat dari 80 tahun sebelumnya. HGU tersebut dapat diperpanjang maksimal dua kali sehingga Insentif HGU di IKN dapat dinikmati 190 tahun. Suatu insentif yang berlebihan.

Namun, pertanyaannya: siapakah yang sejatinya diuntungkan?

Meski bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini mendapat kritik tajam.

Insentif yang besar berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan antara keuntungan investor dan keberlanjutan lingkungan serta pemerataan ekonomi.

Perpanjangan HGU ini memungkinkan investor menguasai tanah di Ibu Kota Nusantara tanpa pertimbangan dampak sosial dan lingkungan yang cermat.

Peningkatan durasi HGU bisa merugikan masyarakat lokal dan lingkungan, dengan fokus investor beralih dari keuntungan jangka pendek menjadi jangka panjang.

Selain itu, kekhawatiran terkait lahan yang disewakan kepada pihak asing muncul, memicu perdebatan tentang potensi ancaman terhadap keamanan nasional dan masyarakat lokal yang termarginalisasi.

Status tanah di Ibu Kota Nusantara, antara Barang Milik Negara (BMN) dan Aset Dalam Penguasaan (ADP), menjadi salah satu sorotan.

Meski pemberian HGU dikatakan dengan kriteria ketat, masih ada kecemasan tentang lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan tanah.

Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial, pemerintah sebaiknya melakukan tiga hal berikut:

Pertama, Melakukan evaluasi mendalam atas setiap perpanjangan HGU, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial. Ide perpanjangan HGU sebaiknya ditunda sampai pemilu selesai.

Proses ini sebaiknya dilakukan ketika Leadership baru 2024-2029 terbentuk sehingga mendapatkan legitimasi kuat apalagi bila melibatkan ahli lingkungan, masyarakat adat, dan organisasi non-pemerintah yang komprehensif.  Terkesan perpanjangan HGU tersebut dilakukan terburu-buru

Kedua, Meningkatkan transparansi dalam pengawasan tanah di Ibu Kota Nusantara, dengan teknologi pemantauan real-time untuk mencegah penyalahgunaan.

Ketiga, Memastikan keseimbangan antara keuntungan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang.

Kebijakan yang benar-benar mengedepankan kesejahteraan rakyat luas, bukan hanya segelintir orang, harus menjadi prioritas. Saatnya pemerintah bertindak bijaksana dalam setiap keputusan. Jangan kejar tayang pak!

Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute