Pengesahan RUU Kesehatan jadi menjadi moment of truth, betapa tidak aspiratifnya lembaga perwakilan rakyat. Keberadaan dokter asing bisa jadi efek buruk bagi UU Omnibus Law Kesehatan.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengemukakan hal tersebut dalam keterangannya kepada Koridor, Kamis, 13 Juli 2023.
DPR tidak lagi melayani kepentingan publik luas namun menjadi pelayan kepentingan ketua umum parpol yang menghamba kepada kepentingan pemilik modal.
Draf terakhir menunjukkan betapa RUU Kesehatan tidak pro kepada publik luas dan organisasi profesi kedokteran. Padahal, telah mendapat penolakan dari lima organisasi profesi kesehatan utama di Indonesia dan 200 guru besar
Mereka berencana membawa UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan Judicial Review karena tidak aspiratif.
Melemahkan Lembaga Profesi
UU tersebut sarat dengan sentralisasi. Buktinya, melemahkan lembaga profesi dan terkesan pemerintah mendominasi.
“Profesionalisme kesehatan melalui penguatan lembaga profesi tercabut. Wajar, bila seluruh lembaga profesi menolak,” ujar CEO Narasi Institute itu.
Peran Menteri kesehatan dalam UU tersebut juga menjadi terlalu kuat. Karena terlalu kuat, nantinya posisi tersebut berpotensi rawan menjadi inceran oligarki investor.
Bagi oligarki investor akan lebih mudah menempatkan seorang menteri ketimbang meyakinkan kolegium organisasi karena plural, profesional dan transparan.
“UU tersebut menempatkan peran pemerintah sangat dominan daripada organisasi profesional,” sambung Achmad Nur Hidayat.
Bukti lainnya yang memudahkan oligarki, yakni menghilangkan mandatory kesehatan dalam UU tersebut. Padahal fungsinya sangat berperan melindungi layanan masyarakat bawah.
Mandatory hilang artinya anggaran minimal kesehatan sudah tidak ada lagi sebagai mandatory politik anggaran bagi rakyat kecil.
“Publik luas hanya menjadi objek baik sebagai tenaga kesehatan maupun pasien. Nakes dan publik luas menjadi buruh industri kesehatan milik oligarki,” sambung dia.
Kehadiran dokter asing
Achmad turut mencontohkan sebuah cerita di negara Eropa, kehadiran dokter asing menjadi masalah bagi Inggris dan Uni Eropa. Pada 2008, seorang pasien di Inggris mendapat perawatan oleh dokter asing asal Jerman.
Saat itu, karena Inggris masih tergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa, semua dokter Eropa dapat praktik di Inggris tanpa syarat apa pun.
Namun pasien bernama David Gray itu meninggal meminum obat dengan dosis yang salah oleh dokter asing bernama dr. Daniel Ubani, yang membuka praktik di Inggris.
Sang dokter seharusnya memahami bahwa dosis antarsuku saxon berbeda dengan suku germanic. Masalah makin besar jika dokter asing yang praktik tersebut tidak bisa berbahasa di negara perantauan. Bisa terjadi miskomunikasi, dan nyawa orang terancam.
“Sistem kesehatan nasional rawan tersandera oleh pemilik modal besar karena mereka tidak perlu berkomunikasi dengan organisasi profesi, cukup terkoneksi dengan pengambil keputusan yaitu Menteri Kesehatan,” tuturnya.
Unsur liberalisasi dalam UU tersebut memiliki risiko tinggi bagi kesehatan publik Indonesia. Apalagi melalui hadirnya dokter asing tanpa memenuhi standar lembaga profesi nasional dapat menyebabkan maraknya malpraktek.
“Dan kematian seperti terjadi di Inggris yang akhirnya menjadi motivasi terjadi keluarnya Inggris dari komunitas Uni Eropa (Brexit),” tandasnya.

Sumber: koridor.co.id