JAKARTA | KBA – Pada Selasa, 4 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengetuk palu pengesahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang ketiga, melahirkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Lembaga ini kini berperan sebagai sovereign wealth fund (SWF) terbesar di dunia, dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS atau setara Rp10.000 triliun.

UU ini menandai transformasi besar dalam sejarah perekonomian Indonesia.

“Melalui Undang-undang ini, fungsi strategis Kementerian BUMN dilucuti, menjadikannya sekadar regulator tanpa kewenangan operasional,” kata Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) kepada KBA News, Rabu, 5 Februari 2025.

Achmad Nur mengatakan, semua kendali pengelolaan dan investasi BUMN kini beralih ke Danantara. “Keputusan ini membawa peluang besar, namun juga menimbulkan risiko sistemik yang sangat tinggi bagi Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, perubahan ini menimbulkan dampak signifikan. Pertama, tidak ada pengawasan langsung terhadap Danantara. Semua keputusan strategis kini ada di tangan superholding ini, bukan di Kementerian BUMN.

Kemudian melemahkan kontrol terhadap BUMN. Dengan minimnya kewenangan, sebab kini Kementerian BUMN tidak bisa lagi secara langsung mengintervensi atau mengawasi kinerja BUMN.

“Risiko lainnya adalah potensi ketidakstabilan akibat birokrasi baru. Dengan adanya entitas baru yang bertanggung jawab atas aset negara, proses pengambilan keputusan bisa menjadi lebih lambat dan berbelit ” katanya.

Jangan Main-main dengan Aset Negara

Presiden Prabowo Subianto harus sangat berhati-hati dalam menindaklanjuti UU BUMN ini. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, Prabowo harus memastikan bahwa keputusan investasi Danantara didasarkan pada kajian mendalam, bukan kepentingan politik.

Selanjutnya bentuk dewan pengawas independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Keppres yang mengatur Danantara juga harus jelas dan mengutamakan kepentingan nasional.

Selain itu, risiko global dan leverage finansial harus dikelola secara profesional agar tidak berujung pada krisis keuangan.

“Jangan sampai aset BUMN dijadikan jaminan investasi yang berisiko tinggi, karena ini bisa membawa Indonesia pada ancaman ekonomi serius jika gagal dikelola dengan baik,” tegasnya.

Harapan dan Kekhawatiran

Achmad Nur mengakui, pendirian Danantara sebagai sovereign wealth fund terbesar di dunia memang membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan tanpa bergantung pada utang luar negeri.

Namun, keberhasilan skema ini sangat bergantung pada bagaimana tata kelola dan pengawasan terhadap Danantara dilakukan.

Dengan minimnya partisipasi publik dalam pengesahan UU BUMN tersebut, ada kekhawatiran besar bahwa keputusan ini lebih sarat kepentingan elite dibandingkan kepentingan rakyat.

Jika salah langkah, risiko keuangan yang ditanggung bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan.

Prabowo dan pemerintahannya harus mengantisipasi skenario terburuk, memastikan regulasi yang ketat, dan memastikan bahwa Danantara tidak menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia.

“Karena jika gagal, seluruh aset negara menjadi taruhannya,” pungkas Achmad Nur.

Sumber: kbanews.com