*Siap* – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah menuai kritik tajam dari ekonom dan pakar kebijakan publik.
Ribuan tenaga honorer yang bekerja di sektor publik terancam kehilangan pekerjaan, menciptakan dampak sosial yang luas bagi keluarga mereka dan mengurangi kualitas pelayanan publik yang sudah sangat dibutuhkan masyarakat.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kebijakan PHK besar-besaran ini bukan hanya merugikan individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga berisiko menghancurkan kehidupan keluarga mereka.
Anak-anak dari para tenaga honorer yang dipecat kini kehilangan biaya sekolah, sementara masyarakat juga harus menghadapi berkurangnya pelayanan publik yang selama ini mereka andalkan.
“Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan, anak-anak kehilangan biaya sekolah, dan masyarakat kehilangan pelayanan publik yang mereka butuhkan,” kata Achmad dalam keterangannya pada Kamis, 13 Februari 2025.
Achmad menekankan bahwa prinsip efisiensi tidak boleh digunakan untuk menindas orang-orang yang lebih lemah dan menguntungkan kalangan elite.
Menurutnya, jika pemerintah benar-benar ingin melakukan efisiensi, langkah pertama yang harus diambil adalah menghapus pos-pos pemborosan yang ada di kalangan pejabat tinggi, bukan dengan menyingkirkan pekerja keras yang sudah lama mengabdikan diri untuk negara.
“Efisiensi tidak boleh menjadi alat untuk menindas yang lemah dan menguntungkan yang kuat. Jika ingin melakukan efisiensi, mulailah dari penghapusan pemborosan yang ada di kalangan elite,” tambah Achmad.
Achmad mengkritik keras situasi yang terjadi di lapangan, di mana ratusan tenaga honorer yang sudah lama mengabdi justru dipecat, sementara pemerintah malah terus mengangkat staf khusus dengan fasilitas mewah.
Hal ini menurutnya mencerminkan ketimpangan struktural yang semakin lebar di Indonesia.
“Ratusan tenaga honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun justru dirumahkan, sementara pemerintah malah mengangkat staf khusus dengan gaji dan fasilitas luar biasa. Ini adalah ketimpangan yang nyata,” ujar Achmad.
Achmad menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih bijak dalam memotong anggaran.
Ia berpendapat bahwa pengurangan anggaran yang sesungguhnya harus diarahkan pada jabatan-jabatan yang tidak memberikan dampak langsung terhadap pelayanan publik.
Dengan demikian, efisiensi dapat tercapai tanpa harus mengorbankan sektor-sektor yang vital bagi masyarakat.
“Masyarakat berhak mendapatkan transparansi dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat, bukan hanya janji kosong yang berpihak kepada segelintir orang,” tegas Achmad.
Di balik keputusan pemangkasan besar-besaran yang memengaruhi sektor publik, Presiden Prabowo Subianto bersama dengan kementeriannya tengah berupaya mengefisiensikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Pemerintah menargetkan penghematan sebesar Rp306,69 triliun, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan pada 22 Januari lalu.
Namun, langkah tersebut justru memunculkan pertanyaan mengenai keadilan sosial dan dampaknya terhadap sektor-sektor yang melayani langsung kepentingan publik, terutama yang melibatkan pekerja lapisan bawah.
Bukan hanya sektor pemerintahan, sektor media publik juga ikut merasakan dampak besar dari efisiensi anggaran ini.
Beberapa penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) dan karyawan TVRI telah dipecat, dan sejumlah kontributor media lainnya juga terancam kehilangan pekerjaan.
Salah satu video viral menunjukkan kontributor TVRI Yogyakarta yang mengungkapkan kisahnya akibat keputusan tersebut.
Sementara itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo juga terus berupaya menegaskan komitmennya untuk menghemat anggaran dengan langkah-langkah pemangkasan yang lebih tegas, meskipun dengan konsekuensi besar bagi lapisan masyarakat yang lebih rentan.
Dengan kebijakan efisiensi anggaran ini, pemerintah dihadapkan pada dilema besar.
Di satu sisi, penghematan anggaran dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara, tetapi di sisi lain, rakyat kecil yang bekerja keras dalam sektor publik justru menjadi korban dari kebijakan yang tampaknya tidak memihak pada kepentingan mereka.
Maka dari itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dengan bijak agar kebijakan ini tidak malah menambah ketidakadilan sosial di Indonesia.
Sumber: siap.viva.co.id