JAKARTA | KBA – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat (Mad Nur) mengatakan kekuatan kelompok oposisi sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas demokrasi.
Dalam sistem politik yang demokratis, Achmad menilai keberadaan oposisi sangat penting sebagai penyeimbang kekuasaan. Oposisi bertugas untuk mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan yang dihasilkan tetap berpihak pada rakyat.
“Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah akan lebih mudah membuat kebijakan tanpa harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas,” kata Mad Nur kepada KBA News, Senin (17/02/2025).
Ia menyoroti langkah Presiden Prabowo Subianto yang berencana menjadikan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus permanen. Pembentukan koalisi permanen dinilai melemahkan kelompok oposisi.
Dengan adanya pembentukan koalisi permanen semakin mempertebal kekuatan pemerintah. Dampaknya, kelompok-kelompok oposisi tidak lagi terdengar.
“Pembentukan koalisi permanen berpotensi menghilangkan oposisi yang kritis dan membuat mekanisme checks and balances menjadi lemah,” ujarnya.
“Ketika semua partai besar berada dalam satu koalisi, tidak ada lagi suara yang mampu memberikan perlawanan signifikan terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat,” jelasnya.
Hal ini dapat menciptakan situasi di mana pemerintah merasa memiliki keleluasaan penuh untuk melakukan berbagai kebijakan tanpa ada konsekuensi politik yang berarti.
Mad Nur menyebut koalisi permanen sangat beresiko bagi demokrasi Indonesia. Kondisi politik Tanah Air bisa semakin tidak sehat dengan adanya wacana tersebut.
“Jika koalisi ini benar-benar terbentuk, maka Indonesia berisiko memiliki parlemen yang homogen tanpa dinamika politik yang sehat,” terangnya.
Wacana Prabowo itu dinilai terlalu ambisius dan bisa memunculkan dampak negatif bagi demokrasi. Pemerintah bisa membuat kebijakan tanpa adanya evaluasi dari oposisi.
Hal itu membuat kekuatan oposisi yang semakin lemah di bawah besarnya kekuatan koalisi pemerintah. Sehingga, ruang diskusi dan kritis tertutup dari publik.
“Hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang dibuat tanpa adanya evaluasi yang menyeluruh, serta menghilangkan ruang diskusi yang diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik bagi masyarakat,” pungkasnya.(kba)
Sumber: kbanews.com