JAKARTA, DISWAY.ID – Per Selasa 4 Februari lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mendirikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan dilakukannya revisi pada Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) menjadi Undang-undang (UU).
Diketahui, lembaga tersebut kini berperan sebagai sovereign wealth fund (SWF) terbesar di dunia, dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS atau setara Rp 10.000 triliun.
Menurut Menteri BUMN, Erick Thohir, pembentukan Danantara ini adalah salah satu upaya Pemerintah untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, yaitu dengan melakukan transformasi BUMN.
“Kami yakin, kita dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh dan berkelanjutan,” ujar Erick dalam Rapat Paripurna ke-12 DPR Masa Sidang II Tahun 2024-2024, yang digelar di Jakarta, pada Selasa 4 Februari 2025.
Sementara itu menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, peresmian UU ini menandai terjadinya transformasi besar dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Dalam hal ini, fungsi strategis Kementerian BUMN dilucuti, menjadikannya sekadar regulator tanpa kewenangan operasional.
“Semua kendali pengelolaan dan investasi BUMN kini beralih ke Danantara. Keputusan ini membawa peluang besar, namun juga menimbulkan risiko sistemik yang sangat tinggi bagi Indonesia,” ujar Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Rabu 5 Februari 2025.
Kendati begitu, Achmad juga menyayangkan pengesahan UU BUMN dilakukan ini dengan minim partisipasi publik.
Menurutnya, keputusan ini dibuat secara elitis, tanpa konsultasi luas kepada masyarakat atau para pemangku kepentingan yang akan terdampak langsung.
“BUMN bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga merupakan aset publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pengesahan tanpa mekanisme partisipasi ini bisa menjadi objek gugatan masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya melibatkan publik,” pungkas Achmad.
Bukan tanpa alasan, ketidakterlibatan publik dalam pengambilan keputusan strategis ini menunjukkan adanya kepentingan elite yang lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan manfaat bagi rakyat.
Terlebih lagi, BUMN memiliki peran vital dalam layanan publik, dan jika liabilitas keuangan BUMN tidak terkendali, maka dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat melalui kenaikan harga layanan dasar atau bahkan kemungkinan bailout besar-besaran menggunakan dana negara.
Sumber: disway.id