TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah resmi akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi PPN 12 Persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini berlaku untuk semua produk dan layanan yang tergolong mewah, termasuk layanan streaming seperti Netflix dan Spotify.

Kenaikan ini dipastikan akan berdampak pada harga langganan kedua platform tersebut. Sebagai contoh, harga paket dasar Netflix yang sebelumnya Rp 65.000 akan naik menjadi Rp 65.589 setelah penyesuaian PPN.

Begitu pula dengan Spotify, langganan Premium Individual yang sebelumnya Rp 54.990 kini menjadi Rp 55.543. Meskipun angka kenaikan terlihat kecil, dampaknya dapat dirasakan oleh konsumen dalam jangka panjang, terutama bagi mereka yang berlangganan beberapa layanan sekaligus.

Kebijakan ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam konferensi pers pada 16 Desember 2024. Pemerintah berharap langkah ini dapat meningkatkan pendapatan negara untuk mendukung program pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Pajak Barang Mewah

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam aturan ini, tarif PPN yang lebih tinggi diarahkan untuk barang dan jasa yang dianggap mewah atau premium. Hal ini mencakup layanan kesehatan VIP, institusi pendidikan internasional, hingga barang konsumsi seperti daging wagyu dan buah premium.

Layanan hiburan digital seperti Netflix dan Spotify juga termasuk dalam kategori yang terkena kenaikan tarif. Namun, muncul pertanyaan apakah layanan ini layak dianggap sebagai barang mewah.

Sebagian kalangan menilai, meskipun harga layanan streaming relatif terjangkau, sifat hiburan yang tidak esensial membuatnya masuk ke dalam daftar barang non-prioritas yang dikenakan tarif lebih tinggi.

Apakah Netflix dan Spotify Termasuk Barang Mewah?

Ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta menyarankan pemerintah untuk memperjelas definisi barang mewah agar tidak menimbulkan kebingungan. Ia menilai, barang seperti Netflix dan Spotify dapat dikategorikan sebagai kebutuhan kelas menengah, terutama di era digital saat ini.

“Pemerintah harus menetapkan batasan yang jelas mengenai barang apa saja yang termasuk dalam kategori mewah. Hal ini penting untuk menghindari kesalahan pengenaan pajak pada barang yang sebenarnya merupakan kebutuhan bagi masyarakat menengah,” ungkap Achmad pada 9 Desember 2024, seperti dilansir dari Antara.

Selain itu, Achmad memperingatkan tentang efek spillover, yakni kenaikan harga barang tertentu yang dapat memicu peningkatan biaya hidup secara keseluruhan.

“Ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok,” jelasnya.

Sebagai solusi, Achmad merekomendasikan penerapan tarif pajak progresif berdasarkan nilai barang, di mana barang dengan harga lebih tinggi dikenakan tarif lebih besar. Ia juga menyarankan insentif bagi produk lokal untuk menyediakan alternatif yang lebih terjangkau bagi konsumen.

Pada akhirnya, meskipun PPN 12 Persen bertujuan memperkuat perekonomian negara, masyarakat diimbau untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak kebijakan ini. Pemerintah juga perlu memastikan pengawasan ketat agar tidak ada pihak yang memanfaatkan kebijakan ini untuk menaikkan harga secara tidak wajar. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan kebijakan ini dapat berjalan adil dan efektif.

Sumber: tempo.co