Hallo Bisnis – Program 3 Juta Rumah yang dirancang Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman adalah sebuah inisiatif ambisius pada masa Pemerintahan Prabowo dinilai sangat akan menghadapi kendala anggaran.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan program Pembangunan tiga juta unit rumah setiap tahun membutuhkan biaya yang sangat besar, terutama jika melibatkan berbagai aspek, seperti pembangunan infrastruktur pendukung, penyediaan bahan material, dan pembiayaan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kalau mengandalkan APBN untuk seluruh pembiayaan sangat tidak realistis, terutama dalam kondisi defisit anggaran yang sudah tinggi,” kata Nur Hidayat dalam keterangan resmi, Selasa(19/11/2024).
Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut adalah penjabaran anggaran berdasarkan rata-rata biaya pembangunan dan komponen-komponen yang terlibat.
Pembangunan rumah sederhana tipe 36 untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia umumnya membutuhkan biaya sekitar Rp150 juta hingga Rp200 juta per unit.
Biaya ini mencakup komponen seperti Material konstruksi (semen, bata, atap, dll.), Biaya tenaga kerja, Biaya infrastruktur dasar seperti jaringan listrik, air bersih, dan jalan lingkungan dan Penyediaan fasilitas umum (jika termasuk dalam kompleks perumahan).
Jika mengacu pada angka tersebut, untuk membangun 3 juta rumah, total anggaran per tahun berkisar antara Rp450 triliun hingga Rp600 triliun.
Angka ini sudah mencakup berbagai variabel, tetapi bisa meningkat tergantung pada lokasi, kondisi geografis, dan kebutuhan infrastruktur tambahan.
Biaya pembangunan rumah di wilayah terpencil atau pesisir pasti memerlukan biaya lebih tinggi karena harus melibatkan pembangunan infrastruktur baru seperti jalan akses, jembatan, dan jaringan listrik.
Belum lagi, Penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah juga menjadi komponen anggaran yang signifikan, terutama untuk daerah yang belum memiliki sistem distribusi air.
Dengan asumsi 70 persen dari total rumah yang dibangun dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, subsidi saja bisa mencapai Rp63 triliun hingga Rp105 triliun per tahun.
Pembangunan berskala besar ini memerlukan koordinasi lintas kementerian, pengawasan ketat, dan manajemen proyek yang baik. Biaya operasional bisa mencakup 5 persen-10 persen dari total anggaran, atau sekitar Rp22,5 triliun hingga Rp60 triliun per tahun.
Angka Rp450 triliun hingga Rp600 triliun adalah beban besar jika seluruhnya ditanggung oleh APBN.
Sebagai perbandingan, anggaran belanja negara pada 2024 adalah sekitar Rp3.600 triliun.
Artinya, program ini akan memakan lebih dari 10 persen-15 persen anggaran negara, sehingga berpotensi mengorbankan prioritas lain, seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur umum lainnya.
Oleh karena itu, program 3 juta rumah perlu merancang strategi yang matang, termasuk melibatkan pihak swasta, mengoptimalkan aset negara, dan mencari sumber pendanaan alternatif agar program ini dapat terlaksana tanpa mengorbankan sektor lainnya.
Kekhawatiran semakin meningkat jika pemerintah juga melibatkan investor asing seperti dari China dan Qatar dalam jumlah besar, yang dapat memicu ketergantungan ekonomi.
Ketergantungan semacam ini membuka celah bagi tekanan politik atau ekonomi di masa depan, terutama jika pendanaan berasal dari negara dengan kepentingan strategis tertentu terhadap Indonesia.
Program ini berjanji amat muluk yaitu membangun rumah di berbagai wilayah, termasuk perkotaan, pedesaan, dan pesisir.
Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa distribusi pembangunan sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.
Daerah-daerah terpencil sering kali tidak memiliki infrastruktur dasar yang memadai, seperti jalan akses, listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan.
Ketidaktersediaan infrastruktur ini dapat menghambat pelaksanaan program dan menyebabkan rumah yang telah dibangun tidak dapat dihuni secara optimal.
Selain itu, pembangunan rumah di wilayah yang terlalu terpencil berisiko tidak menarik bagi masyarakat yang membutuhkan akses lebih dekat ke pusat-pusat ekonomi atau layanan publik.
Hal ini dapat menyebabkan rumah-rumah yang telah dibangun tidak diminati, sehingga menciptakan masalah baru berupa kawasan perumahan mangkrak.
Program tersebut di desain menyasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan kelompok masyarakat miskin di bawah kategori tersebut.
Namun, kriteria penerima manfaat masih belum jelas, sehingga rawan terjadi penyalahgunaan.
Pengalaman dari program-program serupa di masa lalu menunjukkan bahwa rumah yang disubsidi pemerintah sering kali jatuh ke tangan kelompok yang sebenarnya tidak termasuk dalam kategori sasaran, seperti spekulan properti atau kelompok ekonomi menengah yang lebih mampu.
Selain itu, kelompok masyarakat miskin yang bekerja dengan penghasilan tidak tetap menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kewajiban cicilan meskipun tenor diperpanjang hingga 30 tahun.
Ketidakmampuan mereka untuk membayar cicilan dapat mengakibatkan tingginya angka gagal bayar, yang pada akhirnya berujung pada penggusuran atau penyitaan properti. Situasi ini justru memperburuk kesenjangan sosial.
Pengembang swasta memainkan peran penting dalam pembangunan perumahan. Namun, program ini cenderung tidak menarik bagi pengembang besar, terutama untuk proyek yang berlokasi di daerah terpencil.
Margin keuntungan yang rendah dan risiko tinggi membuat pengembang swasta lebih memilih berfokus pada pembangunan perumahan komersial di wilayah perkotaan.
Akibatnya, pembangunan di daerah pedesaan dan pesisir mungkin bergantung pada pengembang kecil yang memiliki kapasitas dan sumber daya terbatas.
Selain itu, keterlibatan swasta yang rendah dapat memperlambat realisasi program. Dalam situasi ini, pemerintah perlu mengandalkan kontraktor lokal yang mungkin tidak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk mengelola proyek skala besar secara efisien.
Dalam perencanaan proyek perumahan, penting untuk mempertimbangkan kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.
Namun, sering kali proyek-proyek pemerintah seperti ini mengabaikan aspek-aspek tersebut, yang berujung pada rendahnya tingkat hunian.
Misalnya, membangun rumah di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi dapat menyulitkan penghuni untuk mencari nafkah, sehingga rumah-rumah tersebut akhirnya tidak dihuni.
Selain itu, desain rumah yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal juga menjadi masalah.
Beberapa masyarakat memiliki preferensi tertentu dalam hal tata ruang, material, atau fasilitas yang disediakan. Mengabaikan preferensi ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan rendahnya minat terhadap rumah yang telah dibangun.
Meskipun Kementerian Perumahan telah ada untuk menangani sektor ini, keberhasilan program sebesar ini memerlukan koordinasi lintas kementerian dan tingkat pemerintahan.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa program perumahan sering kali terhambat oleh kurangnya koordinasi, birokrasi yang rumit, dan lemahnya pengawasan.
Hal ini meningkatkan risiko proyek mangkrak, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pengawasan pemerintah pusat.
Selain itu, tanpa pengawasan yang memadai, program ini berpotensi menjadi lahan subur untuk praktik korupsi. Pengadaan material, penentuan lokasi pembangunan, dan distribusi rumah semuanya adalah area yang rentan terhadap penyimpangan jika tidak diawasi secara ketat.
Program ini juga dapat memicu konflik sosial, terutama jika tidak ada transparansi dalam proses distribusi rumah.
Sumber: bisnis.hallo.id