Dalam dinamika politik dan administrasi terkini Jakarta, dua peristiwa penting telah menarik perhatian publik dan menjadi topik hangat di berbagai media.
Pertama, pada 26 September 2023, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengambil langkah proaktif dengan membentuk tim khusus untuk penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
Langkah ini diambil sebagai respons terhadap perpindahan ibu kota Indonesia ke Nusantara, yang menandai titik balik penting dalam sejarah administratif dan politik Jakarta. Pembentukan tim ini, yang tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 643 tahun 2023, menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam menghadapi perubahan besar yang akan datang.
Kemudian, pada 3 Oktober 2023, Heru Budi Hartono memberikan keterangan resmi mengenai tugas dan fokus tim khusus tersebut. Tugas-tugas ini mencakup evaluasi dan analisis kebutuhan pengaturan Jakarta pasca-pemindahan ibu kota, penyusunan bahan dan materi penguatan substansi usulan RUU, serta koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan.
Buntut Pemindahan Ibu Kota ke IKN
Langkah ini menunjukkan upaya pemerintah daerah untuk memastikan bahwa transisi Jakarta dari status ibu kota negara ke fase baru dalam sejarahnya dapat berjalan lancar dan efektif, dengan mempertimbangkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
Dalam konteks yang lebih luas, RUU Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) telah menimbulkan polemik yang signifikan, terutama karena draf RUU ini mengusulkan bahwa Gubernur DKI Jakarta akan dipilih langsung oleh Presiden, bukan melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Perubahan ini dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah yang menyalahi prinsip demokrasi, mengingat pentingnya pemilihan langsung dalam menjamin akuntabilitas dan representasi publik. Namun, pada 6 Desember 2023, terjadi sebuah perkembangan yang menarik. Heru Budi Hartono, saat berada di Gedung DPRD DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa ia belum sempat membaca RUU DKJ karena fokus pada menyelesaikan sejumlah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda).
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana keterlibatan dan kesigapan pemerintah daerah dalam menghadapi perubahan besar yang diwakili oleh RUU DKJ. Situasi ini mencerminkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengelola berbagai prioritas dan tanggung jawab, terutama di tengah transisi penting seperti pemindahan ibu kota.
Di satu sisi, ada argumentasi efisiensi administratif, namun di sisi lain, terdapat kekhawatiran mendalam tentang pengaruhnya terhadap prinsip demokrasi yang telah lama kita junjung.
Perbedaan Sikap Fraksi DPR terhadap Pemilihan Gubernur Jakarta dalam RUU DKJ
Dalam lingkaran politik DPR, terjadi perbedaan sikap yang signifikan terkait dengan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ), khususnya pada pasal yang mengatur tentang pemilihan Gubernur Jakarta oleh Presiden.
Mayoritas fraksi di DPR, termasuk PDIP, Golkar, PKS, NasDem, PKB, PPP, PAN, dan Demokrat, menolak ide tersebut.
Sementara itu, Fraksi Gerindra berdiri sebagai pengecualian dengan mendukung usulan agar gubernur ditunjuk langsung oleh Presiden, dengan tetap mempertimbangkan usulan atau pendapat DPRD Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Kekhawatiran muncul bahwa pemilihan gubernur DKJ yang ditentukan Presiden lewat pertimbangan DPRD provinsi ini berpotensi memunculkan praktik KKN, sehingga banyak yang berpendapat bahwa klausul pemilihan gubernur oleh Presiden harus dihapuskan.
Inkonsistensi Sikap Parpol di DPR dan Implikasi bagi Demokrasi
Sementara itu, sikap partai politik di DPR terhadap RUU DKJ tampak tidak konsisten. Meskipun mayoritas fraksi di DPR awalnya menyetujui RUU tersebut sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna, belakangan mereka menyatakan penolakan terhadap klausul yang mengatur gubernur Jakarta ditunjuk Presiden.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan DPR dalam proses pembahasan RUU DKJ dan RUU lainnya, serta pentingnya mempertimbangkan legacy dan melibatkan aspirasi publik.
Penunjukkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta oleh Presiden dianggap sebagai langkah mundur bagi demokrasi, mengingat warga Jakarta memiliki hak dan kedaulatan untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, sesuai dengan praktik ketatanegaraan yang telah berlaku.
Pengaruh terhadap Demokrasi Lokal
Pemilihan langsung kepala daerah merupakan salah satu pilar demokrasi yang memberikan warga hak langsung untuk menentukan pemimpin mereka.
RUU DKJ, dengan mengusulkan penunjukan gubernur oleh Presiden, dapat mengurangi akuntabilitas langsung pemimpin daerah kepada warganya. Ini bukan hanya tentang siapa yang memilih, tetapi juga tentang bagaimana keputusan tersebut mempengaruhi keterwakilan dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Ketika warga kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin mereka secara langsung, ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi dan akuntabilitas kepemimpinan yang ada.
Potensi Penghapusan Pilkada
RUU DKJ sendiri telah memicu kontroversi luas, terutama karena pasalnya yang menyebutkan bahwa gubernur Jakarta akan ditunjuk dan diangkat langsung oleh Presiden.
Pengamat dari Perludem, Fadli Ramdhanil, dan peneliti politik dari BRIN, Devi Darmawan, menganggap usulan pasal kontroversial dalam RUU DKJ ini membahayakan.
Mereka berpendapat bahwa jika pemilihan gubernur Jakarta tidak lagi dilakukan secara langsung, hal ini bisa menjadi preseden untuk menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah lain, menandai kemunduran demokrasi di Indonesia.
Keseimbangan Kekuasaan dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah konsep kunci dalam sistem desentralisasi Indonesia. RUU DKJ, dengan mengarah pada penunjukan gubernur oleh Presiden, menimbulkan kekhawatiran tentang erosi otonomi daerah. Ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga tentang kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Keseimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah harus dipertahankan untuk memastikan bahwa setiap daerah dapat berkembang sesuai dengan keunikan dan kebutuhan spesifiknya.
Partisipasi Masyarakat dan Legitimasi Kepemimpinan
Partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan dan program pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi warga.
Penunjukan gubernur tanpa pemilihan langsung dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap legitimasi kepemimpinan. Ini bukan hanya tentang proses pemilihan, tetapi juga tentang bagaimana keputusan tersebut mencerminkan kehendak dan aspirasi warga.
Legitimasi kepemimpinan yang diperoleh melalui proses demokratis adalah fundamental dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan partisipasi aktif warga dalam pemerintahan.
Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi dan akuntabilitas adalah prinsip dasar dalam pemerintahan yang baik. Mekanisme penunjukan yang diusulkan dalam RUU DKJ harus jelas dan terbuka untuk memastikan bahwa proses tersebut bebas dari pengaruh politik dan kepentingan yang tidak sesuai dengan kebutuhan publik.
Tanpa proses yang transparan, ada risiko bahwa penunjukan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak mewakili kepentingan terbaik warga Jakarta.
Pentingnya Dialog dan Konsultasi Publik
Akhirnya, proses pembuatan RUU ini harus melibatkan dialog yang luas dengan berbagai pemangku kepentingan. Keterlibatan publik yang signifikan dalam proses legislatif adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Dialog dan konsultasi publik yang inklusif akan memperkuat fondasi demokrasi kita dan memastikan bahwa setiap perubahan kebijakan mencerminkan kehendak kolektif warga.
RUU DKJ membawa kita pada titik kritis dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sementara efisiensi administratif penting, tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, otonomi daerah, dan partisipasi publik.
Keseimbangan antara efisiensi dan nilai-nilai demokrasi harus dicapai untuk memastikan bahwa Jakarta, sebagai ibu kota negara, terus berkembang sebagai pusat perekonomian, politik, dan budaya yang inklusif dan demokratis.
Ketidakpastian IKN dan Dampaknya terhadap RUU DKJ
Salah satu aspek kritis yang turut mempengaruhi masa depan RUU Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) adalah ketidakpastian yang mengitari pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Hingga saat ini, proyek ambisius ini menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan pembiayaan.
Dengan kebutuhan anggaran yang mencapai Rp. 466 triliun, pemerintah berencana untuk membiayai hanya sekitar 20% dari total anggaran melalui APBN, sementara sisanya diharapkan berasal dari investasi swasta dan sumber lainnya. Namun, ketiadaan investor yang tertarik hingga saat ini menimbulkan keraguan serius tentang kelayakan finansial proyek tersebut.
Dalam konteks ini, RUU DKJ yang dirancang untuk menyesuaikan dengan perpindahan ibu kota menjadi semakin relevan. Jika IKN gagal terwujud atau mengalami penundaan signifikan karena kekurangan dana, maka perubahan yang diusulkan dalam RUU DKJ mungkin menjadi tidak relevan yang berujung kesia-siaan.
Hal ini karena RUU DKJ sebagian besar didasarkan pada premis bahwa Jakarta tidak lagi akan menjadi ibu kota negara, sehingga memerlukan pengaturan khusus untuk mengelola transisi ini. Ketidakpastian seputar IKN menimbulkan pertanyaan penting: apakah perubahan yang diusulkan dalam RUU DKJ masih akan efektif dan relevan jika rencana pemindahan ibu kota mengalami hambatan atau perubahan signifikan?
Ketiadaan investor dan tantangan pembiayaan IKN juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan kembali prioritas dan strategi dalam pengelolaan sumber daya negara. Dalam konteks ini, RUU DKJ dan rencana pemindahan ibu kota tidak hanya menjadi masalah administratif atau politik, tetapi juga menyangkut pertimbangan ekonomi yang luas.
Keputusan terkait RUU DKJ dan IKN harus dibuat dengan mempertimbangkan realitas ekonomi saat ini dan proyeksi masa depan, agar tidak menimbulkan beban finansial yang tidak perlu atau mengorbankan proyek-proyek penting lainnya yang juga membutuhkan dukungan anggaran.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)