Pembahasan biaya haji tahun 2024 oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan DPR RI mencuatkan perdebatan serius terkait kebijakan yang seharusnya mendorong keberpihakan kepada rakyat. Seharusnya, biaya haji dapat lebih terjangkau, namun sayangnya, pemerintah masih mengandalkan sistem sewa yang tidak mendukung kepentingan jamaah. Kebijakan yang pro rakyat seharusnya mengadopsi sistem kepemilikan bersama.

Ketidakpastian Komponen Biaya: Tantangan Panitia Kerja BPIH 1445 H/2023

Dalam rapat kerja dengan Komisi VIII di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kemenag mengusulkan besaran anggaran biaya haji per jamaah sebesar Rp 105 juta.

Meski ada pembentukan Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2023, yang dipimpin oleh Moekhlas Sidik, masih terlihat ketidakpastian dalam penentuan komponen biaya tersebut.
Menyikapi usulan tersebut, publik menyoroti ketidakjelasan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyat. Rencana pembagian biaya menjadi dua komponen, yaitu Jemaah Haji (Bipih/Biaya Perjalanan Ibadah Haji) dan komponen yang dibebankan kepada dana nilai manfaat (optimalisasi), menciptakan keraguan terkait transparansi dan keadilan.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam menentukan komponen BPIH. Namun, penekanan pada biaya penerbangan haji yang disusun per embarkasi menunjukkan ketidaksetaraan dalam pembagian beban biaya antarjamaah.

Sistem ini lebih menguntungkan bagi yang berada di embarkasi lebih dekat ke Arab Saudi, sementara jamaah dari embarkasi yang lebih jauh akan dirugikan.

Ketidakpastian Komponen Biaya: Tantangan Panitia Kerja BPIH 1445 H/2023

Lebih lanjut, usulan Menag Yaqut untuk menggunakan kurs dolar terhadap rupiah Rp16.000 dan nilai tukar SAR senilai Rp 4.266 menimbulkan pertanyaan serius terkait kestabilan nilai mata uang dan dampaknya pada biaya haji.

Pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dalam merumuskan asumsi dasar agar tidak memberatkan rakyat.

Solusi Inovatif: Dana Kepemilikan Bersama sebagai Alternatif Pembiayaan

Pemerintah membutuhkan pendekatan proaktif dan inovatif untuk mengatasi permasalahan biaya haji yang masih menjadi beban berat bagi sebagian masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut, langkah yang dapat diambil adalah membentuk Dana Kepemilikan Bersama (DKB) sebagai solusi alternatif pembiayaan yang lebih inklusif.

Dana Kepemilikan Bersama (DKB) ini dapat menjadi wadah kesejahteraan umat dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung hak setiap warga negara untuk menjalankan ibadah haji tanpa beban finansial yang berlebihan.

Salah satu keunggulan DKB adalah keberagaman sumber pendanaannya, yang melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak.

Pertama-tama, masyarakat dapat berperan aktif dengan memberikan sumbangan ke dalam DKB. Ini tidak hanya menciptakan rasa memiliki bersama terhadap ibadah haji, tetapi juga menggambarkan semangat gotong-royong dalam merawat sesama umat. Sumbangan ini bisa berupa donasi langsung, zakat, atau bentuk partisipasi keuangan lainnya.

Lembaga keuangan, seperti bank syariah, juga dapat terlibat dalam mendukung DKB. Mereka dapat memberikan dukungan dalam bentuk bunga yang lebih rendah atau fasilitas pembiayaan yang lebih mudah, sehingga mempermudah akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam kepemilikan bersama.

Selain itu, pemerintah dapat mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan lainnya, termasuk dana perusahaan atau sponsor swasta yang peduli terhadap aspek keagamaan dan kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan sektor swasta dapat menjadi pendorong utama untuk mencapai kesuksesan DKB.

Dengan membentuk DKB, pemerintah akan mengambil langkah konkrit menuju sistem pembiayaan yang lebih adil dan terjangkau untuk masyarakat.

DKB dapat diatur sedemikian rupa untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Pemerintah juga dapat memberikan insentif atau penghargaan bagi mereka yang turut serta aktif dalam mendukung DKB.

Perkuat Ikatan Sosial: Keterlibatan Swasta dan Insentif Masyarakat

Langkah ini, selain memberikan solusi finansial bagi calon jamaah haji, juga akan memperkuat ikatan sosial dan keagamaan dalam masyarakat. Melalui DKB, kita dapat menciptakan kerangka kerjasama yang berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor keuangan untuk memastikan hak setiap warga negara Indonesia untuk menjalankan ibadah haji dapat diwujudkan tanpa mengorbankan keuangan mereka.

Dengan kuota jemaah haji Indonesia tahun 2024 yang mencapai 241.000, penambahan 20.000 jemaah seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk merinci lebih lanjut kebijakan biaya haji yang mendukung keberpihakan kepada seluruh lapisan masyarakat.

Panja BPIH, yang harus menghadapi pengurangan jumlah petugas yang signifikan, seharusnya memastikan bahwa pelayanan optimal tetap terjamin tanpa meninggalkan aspek keadilan dalam distribusi biaya.

Kebijakan pro rakyat bukan hanya tentang merumuskan angka, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang adil dan terjangkau untuk menjalankan ibadah haji.

Saatnya pemerintah mempertimbangkan sistem kepemilikan bersama untuk memastikan bahwa kebijakan pro rakyat benar-benar mencerminkan keadilan dan keberpihakan kepada seluruh rakyat Indonesia.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta