Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan di era saat ini menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat. Penanganan kasus-kasus korupsi kerap kali menimbulkan persepsi bahwa pemerintah saat ini hanya berupaya membangun opini positif, dengan mengedepankan citra seolah-olah telah berhasil melakukan pemberantasan korupsi dan menangkap banyak koruptor.
Namun, ironisnya, proses penuntasan kasus-kasus tersebut seringkali tidak jelas akhirnya. Sebagai contoh, kasus di kemenkeu yang belum juga menemui titik terang dan kasus yang melibatkan Harun Masiku.
Vonis yang diberikan kepada koruptor kerap kali dirasa publik tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Kasus-kasus seperti Jaksa Pinangki dan Juliari Batu Bara menjadi bukti konkret ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Hal ini semakin diperparah dengan adanya dugaan bahwa pejabat-pejabat yang bermasalah seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Pemilihan Umum atau yang lebih dikenal dengan Pemilu, selalu menjadi momentum krusial bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Pemilu 2024, berdasarkan indikator-indikator yang muncul, diperkirakan akan menjadi salah satu pemilu yang paling sengit dalam sejarah bangsa ini.
Banyak pihak memprediksi bahwa isu yang akan muncul dalam Pemilu 2024 akan lebih runcing dibandingkan Pemilu 2019. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden yang memungkinkan putra presiden untuk menjadi cawapres menjadi salah satu indikator kuat munculnya isu dinasti politik dan tanda telah terjadinya supremasi KKN.
Dinasti politik, yang kerap kali dihubungkan dengan praktik KKN, diperkirakan akan menjadi sorotan utama dalam pertarungan Pemilu 2024. Kubu perubahan, yang mewakili aspirasi reformasi, diperkirakan akan menempatkan isu ini sebagai senjata utama dalam pertarungan melawan kubu yang dituding sebagai pendukung praktik KKN. Fenomena politik dinasti, yang rentan terhadap praktik KKN, menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Polarisasi masyarakat yang terjadi pada Pemilu 2019, yang diwakili dengan sebutan “cebong” dan “kampret”, telah bergeser menjadi pertarungan antara kelompok Perubahan dan kelompok KKN yang identik dengan pertarungan hitam vs putih. Apalagi para pendukung dari kedua kubu ini mempunyai sejarah yang beririsan.
KKN, sebagai praktik yang sangat merugikan negara, harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah mengakibatkan pembangunan terhambat, keuangan negara merugi, serta kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara menurun drastis. Investasi asing pun bisa berkurang karena ketidakpastian hukum dan praktik korupsi yang merajalela. Kesenjangan sosial yang terjadi akibat praktik KKN memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin.
Sebagai bangsa yang pernah mengalami masa Orde Baru dengan segala bentuk praktik KKN-nya, kita tentunya tidak ingin kembali ke masa itu. Masa dimana monopoli dan kartel menguasai pasar, dimana pejabat pemerintah dapat dengan leluasa melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan dimana rakyat menjadi korban dari keserakahan pejabat berkuasa.
Sebagai bangsa yang berdaulat, kita harus memastikan bahwa pemilu yang akan datang dapat berjalan dengan adil dan jujur, tanpa adanya intervensi dari pihak manapun sehingga bisa berjalan dengan damai. Setiap calon yang maju harus memastikan bahwa mereka berkomitmen untuk memerangi KKN dan membawa perubahan yang sebenarnya bagi rakyat Indonesia. Kita, sebagai rakyat, juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan lancar dan memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa Indonesia maju.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)