Keputusan Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, untuk membatalkan proyek jalur kereta cepat HS2 yang menghubungkan London dan Manchester memberikan landasan serius bagi Indonesia untuk merenung.
Proyek HS2 dibatalkan karena kenaikan biaya yang drastis, mencapai dua kali lipat dari perkiraan awal. Ini menciptakan analogi yang kuat dengan kondisi Rencana pembangunan Kereta Semi Cepat Jakarta – Surabaya dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek Mega Indonesia dan Kesejahteraan Rakyat
Proyek pengembangan Kereta Cepat Merah Putih merupakan hasil kolaborasi antara Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan PT Industri Kereta Api (Persero) atau INKA.
Riset ini mendapatkan pendanaan RISPRO LPDP sebesar Rp 4,895 miliar Selama 3 tahun penelitian. Dan isu terbaru muncul peluang Cina untuk berinvestasi kembali di proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya ini, Perdana Menteri (PM) Cina Li Qiang juga sudah berminat untuk kembali terlibat dalam proyek ini.
Dan apakah ini akan berakhir sama seperti kasus di mana Pemerintah menghadapi dilema serupa akibat biaya proyek KCJB yang membengkak sebesar US$1,2 miliar.
China, sebagai pemberi utang, menetapkan bunga sebesar 3,4 persen, melebihi harapan Pemerintah yang sebesar 2 persen. Tidak hanya itu, China juga meminta APBN sebagai jaminan atas pinjaman utang, memberikan tambahan tekanan pada ekonomi Indonesia.
pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah sebaiknya pemerintah berani mengambil keputusan untuk membatalkannya jika memang merugikan rakyat.
karena jika di cermati sekelas negara maju seperti inggris saja benar-benar mencermati kemampuannya dan memutuskan untuk membatalkan proyek HS2.
Pembatalan proyek bukanlah solusi yang ringan, tetapi sebagai contoh dari Inggris, itu bisa menjadi langkah bijak untuk menghindari dampak yang lebih buruk.
Belum waktunya Proyek Strategis Nasional (PSN) ini di jalankan, jangan gegabah harus di ketahui dampak jangka panjangnya.
Kesejahteraan rakyat seharusnya menjadi prioritas utama, tampaknya pemerintah Indonesia cenderung terjebak dalam proyek-proyek mega yang berpotensi meninggalkan beban hutang untuk generasi mendatang.
Dua contoh nyata adalah Proyek Ibu Kota Negara (IKN) dan kasus di Pulau Rempang, yang menyoroti kecenderungan kurangnya perencanaan jangka panjang dan pemikiran yang matang dalam pengelolaan proyek-proyek besar.
Tantangan Proyek IKN dan Kasus Pulau Rempang
Pertama, Proyek IKN, yang awalnya dirancang untuk menjadi pusat pemerintahan baru yang modern dan maju. Namun, dengan keterbatasan sumber daya dan perubahan prioritas, proyek ini seakan-akan dijalankan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap keuangan negara.
Pertanyaan muncul apakah proyek ini benar-benar mendesak dan menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat, ataukah hanya menjadi sumber beban hutang yang berat.
Kedua, kasus di Pulau Rempang menunjukkan bahwa proyek-proyek regional juga bisa menjadi sumber masalah. Pengelolaan yang kurang matang dan kurangnya perencanaan jangka panjang dapat mengakibatkan masalah serius, termasuk masalah ekonomi dan dampak lingkungan yang tidak terduga.
Pertimbangan teliti seharusnya menjadi bagian integral dari setiap keputusan terkait pembangunan besar-besaran.
Di sisi lain, jika di lihat kebelakang kasus di Pulau Rempang semakin kompleks dengan permintaan tambahan anggaran sebesar Rp1,6 triliun oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam. Untuk kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan proyek Rempang Eco City. Rinciannya mencakup pembangunan prasarana konektivitas darat, konektivitas laut, dan pengembangan kawasan.
Namun yang menjadi sorotan dan tantangan yaitu tentang pembebasan lahan sebesar 2.000 hektare menciptakan dilema tambahan, melibatkan 700 kepala keluarga yang akan terdampak.
Dengan mengabaikan suara-suara masyarakat asli dan mengejar kepentingan jangka pendek, pemerintah dan kekuatan asing mempertaruhkan stabilitas dan perdamaian jangka panjang.
Pentingnya Transparansi dan Efisiensi dalam Proyek Mega
Pemerintah perlu mempertimbangkan dengan serius dampak jangka panjang dari proyek-proyek besar ini terhadap kesejahteraan rakyat dan keuangan negara.
Pengambilan keputusan yang berbasis pada kepentingan jangka panjang mungkin jauh lebih berharga daripada terus menerus mengejar proyek-proyek mega tanpa mempertimbangkan konsekuensi besar yang mungkin dihadapi oleh generasi mendatang.
pemerintahan tampaknya sedang mengambil “momentum terakhir”
Saat ini, pemerintahan tampaknya sedang mengambil “momentum terakhir” di akhir masa kepemimpinannya dengan memperbanyak proyek-proyek mega yang diikuti oleh utang besar-besaran.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang apakah proyek-proyek ini sebenarnya memberikan manfaat substansial ataukah menjadi semacam kecanduan bagi mereka yang terlibat, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Langkah pemerintah dalam merancang dan meluncurkan proyek-proyek mega belakangan ini memicu kekhawatiran bahwa beberapa keputusan mungkin lebih didasarkan pada keinginan untuk “mencatat sejarah” di akhir masa jabatan daripada pertimbangan yang cermat terhadap kepentingan rakyat.
Seolah-olah terjadi perlombaan untuk menciptakan warisan visual yang besar, tetapi tanpa memastikan dampak positif yang nyata terhadap kesejahteraan dan perkembangan masyarakat.
Keberlanjutan proyek-proyek mega dan meningkatnya utang menjadi titik perhatian, terutama jika hasil yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Hal ini menggambarkan situasi di mana terlibat dalam pembangunan infrastruktur besar telah menjadi semacam “candu” bagi pihak yang terlibat. Peningkatan jumlah proyek tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah setiap proyek dijalankan dengan transparan, efisien, dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang rakyat. Apakah proyek-proyek ini benar-benar memenuhi kebutuhan mendesak dan memberikan dampak positif yang substansial?
Dalam konteks ini, seiring dengan semakin banyaknya proyek-proyek mega, sangat penting bagi masyarakat untuk terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Keterlibatan aktif warga negara dan transparansi dalam penggunaan anggaran publik menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap proyek yang diluncurkan tidak hanya membangun infrastruktur fisik tetapi juga meningkatkan kesejahteraan dan masa depan generasi mendatang.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)