Pembagian rice cooker dalam konteks kebijakan pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial telah dimasukkan ke dalam kategori bantuan sosial atau lebih dikenal dengan Bansos.
Namun, pembagian rice cooker dari pemerintah menuai pro kontra di masyarakat, karena dianggap tidak peka dengan kondisi saat ini yang tengah mengalami krisis beras dan kenaikan harga bahan pangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan akan sensitivitas pemerintah terhadap kebutuhan riil masyarakat.
Dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, bantuan sosial dianggap sebagai bagian penting dari perlindungan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara.
Salah satu argumen yang digunakan pemerintah adalah bahwa menanak nasi dengan rice cooker lebih efisien dari segi biaya dibandingkan dengan menggunakan gas.
Hal ini dikonfirmasi oleh Subkoordinator Fasilitasi Hubungan Komersial Usaha Ketagalistrikan Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Edy Pratiknyo, yang menyebutkan bahwa penggunaan rice cooker dapat menghemat biaya hingga Rp6.404 per bulan.
Selain itu, pemberian rice cooker juga diklaim dapat mengurangi anggaran subsidi pemerintah untuk impor LPG sebesar Rp52,2 miliar.
Target program ini ditujukan untuk masyarakat tidak mampu dan pelanggan listrik rumah tangga bersubsidi dengan daya 450 dan 900 Volt Ampere (VA).
Namun, beberapa pakar, termasuk Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, menegaskan bahwa beras bukan hanya sekadar komoditas, tetapi juga representasi dari stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Achmad menyoroti bahwa krisis beras yang sedang terjadi menunjukkan ketidakseimbangan antara kebijakan yang diambil pemerintah dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks ini, terdapat pertanyaan tentang apakah pembagian rice cooker merupakan prioritas yang tepat pada saat ketersediaan beras dan stabilitas harga masih menjadi perhatian utama.
Achmad juga menekankan pentingnya pembaharuan program dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan dalam peninjauan ulang program ini. Pertama, perlu adanya keseimbangan yang baik antara subsidi listrik dan dampak dari penggunaan rice cooker.
Terlebih lagi, terdapat kekhawatiran bahwa program ini dapat meningkatkan beban finansial bagi masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Alasan kedua adalah perlunya dukungan subsidi untuk meringankan dampak kenaikan tagihan listrik yang mungkin terjadi akibat penggunaan alat tersebut.
Jika pemerintah ingin mendorong adopsi alat yang ramah lingkungan, memberikan insentif berupa subsidi dapat menjadi langkah efektif.
Selain itu, Achmad juga mengingatkan pentingnya pembelajaran dari program sebelumnya, di mana jika program baru diluncurkan sementara program sebelumnya belum mencapai target, keduanya mungkin tidak akan berhasil sepenuhnya.
Ini bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap inisiatif pemerintah dan juga efektivitas kebijakan energi bersih secara keseluruhan.
Oleh karena itu, perlu adanya tinjauan mendalam terhadap kesesuaian program rice cooker ini dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat.
Sumber: insiden24.com