Dalam Zoominari yang diselenggarakan oleh Narasi Institute pada 6 Oktober 2023, Prof. Didin S Damanhuri, Ekonom Senior dan Guru Besar Ekonomi IPB serta Universitas Paramadina, memberikan pandangannya mengenai kondisi pelemahan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat Indonesia. Acara tersebut dimoderatori oleh Achmad Nur Hidayat, MPP.
Ketimpangan Ekonomi yang Meningkat:
Prof. Didin menyampaikan keprihatinannya terhadap meningkatnya ketimpangan ekonomi di Indonesia. “Indeks oligarki kita telah mencapai level terburuk di dunia, dengan rata-rata 40 orang paling kaya dibagi oleh pendapatan per kapita sebanyak 1.062.500 kali,” ujarnya.
Dia juga menyoroti bahwa ketimpangan semakin meningkat, tercermin dari kenaikan rasio Gini dalam lima tahun terakhir, menunjukkan perlunya perhatian khusus terhadap keadilan ekonomi.
Prof. Didin juga menyoroti bahwa fenomena ketimpangan ini bukanlah sekadar angka statistik semata. Dalam rentang lima tahun terakhir, kenaikan rasio Gini memberikan gambaran yang mengkhawatirkan, mencerminkan ketidaksetaraan yang semakin merajalela. Hal ini menjadi tanda bahwa upaya khusus perlu dilakukan untuk mencapai keadilan ekonomi yang sesungguhnya.
Menurut Didin, Indonesia perlu melakukan flashback dan merenung tentang akar masalah ketidaksetaraan ekonomi. Dalam konteks ini, pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan akibat perang Rusia dan Ukraina menjadi pemicu penting yang harus diperhatikan.
Tidak hanya itu, Didin menggambarkan bahwa dampak global dari kedua peristiwa tersebut telah menciptakan disrupsi luar biasa, terutama dalam sektor pangan dan energi. Hal ini merembes ke dalam ekonomi domestik Indonesia, mengakibatkan inflasi impor yang signifikan. Komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia dan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, seperti bawang merah, bawang putih, sayuran, daging ayam, daging sapi, dan bahkan beras, semuanya terpengaruh oleh ketidakstabilan pasar global.
Didin menyoroti dilema dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi gejolak eksternal ini. Bahkan, ketidakstabilan harga-harga barang pokok yang masih tinggi pasca-bulan puasa dan lebaran menjadi cerminan dari ketidakpastian yang melanda sektor ekonomi Indonesia.
Dalam Diskusinya, Didin menantang calon presiden yang akan datang untuk mempertimbangkan kembali kebijakan dan struktur kelembagaan, khususnya dalam merevitalisasi peran BULOG. Menurutnya, perlunya pendekatan yang lebih proaktif dan efektif untuk mengelola kebutuhan pokok rakyat. “Jadi Harusnya kalau menurut saya ini Saya ingin menantang kepada calon presiden yang akan datang berani enggak untuk memposisikan kembali Kebutuhan pokok rakyat kita ini yang sangat penting dengan merevitalisasi Bulog ya secara lebih efektif.” Ujarnya.
Tantangan Kebijakan dan Kelembagaan dalam Krisis Global:
Didin mengangkat isu signifikan terkait kebijakan dan kelembagaan dalam menghadapi dampak serangkaian peristiwa global. Terutama, ia menyoroti langkah tiba-tiba BAPANAS untuk mengimpor 1,5 juta ton tanpa melakukan assessment bersama para stakeholder.
Menurut Didin, hal ini menciptakan masalah serius dalam konteks ekonomi politik, menunjukkan kurangnya penataan kelembagaan yang serius terkait kebutuhan pokok masyarakat.
Penting juga dicatat bahwa Didin memberikan sorotan pada peran para makelar beras yang memperoleh keuntungan besar, bahkan mencapai triliunan rupiah. “saya hitung-hitung bahwa makelarnya makelar beras karena kalau impor beras itu bukan berarti uang pemerintah saja ya, itu sudah jadi tradisi memakai para makelar yang notabane menurut saya terkait dengan pangan dan beras itu keuntungan mereka minal 1,25 Triliun ketika mengimpor beras 500.000 ton, makelar ini.” Pungkasnya.
Hal ini mencerminkan tantangan serius dalam pengelolaan impor beras dan mendesak perlunya transparansi dan pertimbangan etis dalam mengatasi kompleksitas pasar.
Peran Strategis Publik dalam Penanganan Krisis:
Didin juga mencermati peran strategis pendekatan publik dalam menangani krisis, seperti yang terlihat selama pandemi COVID-19. Menurutnya, keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan penyebaran virus tersebut terletak pada stimulus yang diberikan kepada UMKM dan masyarakat. Namun, setelah implementasi PPKM kembali, Didin melihat pemerintah terjebak dalam keputusan yang mungkin kurang memperhatikan kondisi krisis global, terutama dampak dari konflik Rusia-Ukraina, yang tetap memberikan stimulus kepada UMKM dan masyarakat dalam bentuk modal UMKM dan Bansos. Bukannya malah hanya memberikan stimulus kepada korporasi besar (Nasional dengan asing) semata, sehingga berdampak kepada ketimpangan yang makin buruk.
Perubahan Paradigma dalam Pendekatan Ekonomi:
Pentingnya perubahan paradigma dalam pendekatan ekonomi menjadi fokus selanjutnya. Didin menyoroti kecenderungan Indonesia untuk terjebak dalam pendekatan supply side, tanpa memberikan cukup perhatian pada kepentingan rakyat. Ia menantang kembali kebijakan pemerintah, khususnya terkait IKN (Ibu Kota Negara) dan investasi di pulau rempang, dengan menekankan perlunya alokasi APBN yang proporsional dan transparan. Ditambah lagi, Indonesia terjebak pada jaminan Kereta Api Cepat (KCJB) oleh APBN.
Semua ini seakan menjadi stimulus untuk korporasi, padahal masalah kereta cepat ini tidak pernah diaudit. Biaya yang semestinya sekitar 80 triliun rupiah naik mendekati 130 triliun rupiah karena cost overrun, dan yang lebih memprihatinkan adalah bahwa tidak ada proses audit yang dilakukan.
Masalah Korupsi dalam Pengelolaan Hutang Luar Negeri:
Isu korupsi muncul dalam konteks pengelolaan hutang luar negeri, khususnya terkait proyek kereta Api cepat (KCJB) dan hubungan dengan China. Prof. Didin memberikan contoh dari Malaysia, di mana tindakan anti-korupsi diambil dengan membatalkan proyek-proyek yang dianggap merugikan negara. Ia mendorong agar Indonesia juga melakukan tindakan yang sama jika terdapat bukti korupsi terkait proyek-proyek besar tersebut.
Prof. Didin menyoroti kesenjangan dalam pendekatan ekonomi saat ini, yang menurutnya tidak cukup mensejahterakan rakyat. Ia mengkritisi bahwa pendekatan yang lebih mengutamakan korporasi daripada kebutuhan rakyat telah menyebabkan ketidaksetaraan yang semakin memburuk. Dalam konteks ini, Prof. Didin membahas bahwa pemerintah perlu melakukan reorientasi dalam strategi pembangunan, lebih berfokus pada kesejahteraan rakyat sesuai dengan semangat konstitusi, terutama Pasal 33 ayat 3.
Dia mencermati bahwa kebijakan-kebijakan yang cenderung menguntungkan pihak asing, seperti melalui hilirisasi yang menguntungkan Cina, dapat berdampak negatif terhadap ekonomi nasional. Didin mengingatkan bahwa perlu hati-hati terhadap keterlibatan APBN dalam proyek-proyek besar yang tidak selalu menghasilkan manfaat optimal dan dapat merugikan keuangan negara.
Tantangan Geopolitik dan Krisis Lingkungan:
Analisis Prof. Didin menyentuh juga tantangan geopolitik dan krisis lingkungan yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi.
sebagai penutup Prof. Didin S Damanhuri menyoroti bahwa Indonesia harus tetap waspada terhadap indeks geopolitik global, yang dapat memengaruhi harga pangan dan energi. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah diharapkan untuk tetap berada dalam welfare approach dengan fokus pada kepentingan rakyat dalam menghadapi gejolak global yang kompleks.