Dalam labirin kompleksitas hukum dan tata kelola pemerintahan, kasus korupsi yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan dugaan pemerasan oleh Firli Bahuri terhadapnya telah menciptakan gelombang kegaduhan di tengah masyarakat. Kasus-kasus semacam ini bukan hanya sekedar pertarungan hukum antara terdakwa dan penegak hukum, tetapi juga menjadi ujian bagi integritas sistem peradilan kita.

Pentingnya menjaga agar proses penyelidikan dan penuntutan berjalan dengan netral dan adil bukanlah sekedar retorika, melainkan sebuah keharusan. Dalam era transparansi dan akses informasi yang begitu cepat, setiap langkah yang diambil oleh lembaga penegak hukum berada di bawah sorotan publik.

Oleh karena itu, tidak ada yang boleh luput dari pengawasan; setiap dugaan, sekecil apapun, patut dicurigai dan diusut dengan tuntas. Ini bukan hanya soal menemukan kebenaran, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga kepercayaan publik terhadap pilar-pilar demokrasi kita, khususnya dalam penegakan hukum. Serta menghindarkan dari motif-motif politisasi dan kriminalisasi terhadap lawan politik penguasa.

Foto Firli dan SYL harus diselidiki

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan, setiap tindakan pejabat publik, terutama yang berada di lembaga antikorupsi seperti KPK, harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Meskipun sebuah foto pertemuan antara Firli dan SYL mungkin tidak secara langsung menunjukkan adanya tindakan yang salah, namun konteks dan timing dari pertemuan tersebut tentu memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Sebagai Ketua KPK, Firli memiliki tanggung jawab moral dan etik untuk menjaga integritas dirinya dan lembaga yang ia pimpin. Pertemuan dengan individu yang sedang dalam sorotan atau terlibat dalam kasus korupsi, meskipun mungkin bersifat pribadi atau tidak terkait dengan pekerjaannya, dapat menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Persepsi ini dapat mengancam kredibilitas dan integritas KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.

Selain itu, pertemuan semacam itu dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa tujuan dari pertemuan tersebut? Apakah ada agenda tersembunyi di balik pertemuan tersebut? Apakah ada potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi?

Dalam situasi seperti ini, transparansi menjadi kunci. Firli dan KPK harus proaktif dalam memberikan penjelasan kepada publik mengenai pertemuan tersebut untuk menghindari spekulasi dan keraguan. Selain itu, investigasi internal oleh KPK atau lembaga independen lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran etik atau hukum yang terjadi.

Dengan demikian, meskipun sebuah foto mungkin tidak memberikan bukti konkret adanya kesalahan, namun konteks dan potensi dampak dari foto tersebut memerlukan penanganan serius dan transparan oleh pihak-pihak yang terkait.

Firli harus mundur atau diberhentikan untuk upaya pembungkaman

Keberadaan Firli dalam posisi sebagai Ketua KPK sementara terdapat dugaan pemerasan terhadap SYL dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika seorang individu memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi atau tampak mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak dengan objektivitas dan integritas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Dalam konteks ini, objektivitas menjadi pertimbangan utama. Jika Firli terus berada dalam posisi sebagai Ketua KPK, ada kemungkinan objektivitas lembaga dalam menangani kasus SYL dapat dipertanyakan. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas proses investigasi dan penuntutan.

Selanjutnya, dengan Firli masih berada di posisi kepemimpinan, ada potensi bahwa sumber daya KPK dapat digunakan untuk mempengaruhi atau membungkam SYL atau pihak lain yang mungkin memiliki informasi terkait dugaan pemerasan.

Transparansi dalam situasi seperti ini menjadi sangat penting. KPK harus memastikan bahwa proses investigasi dan penuntutan dilakukan dengan transparan dan akuntabel, tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk dari Firli sendiri.

Terakhir, integritas dan reputasi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi dapat terancam jika dibiarkan terjadi potensi konflik kepentingan. Hal ini dapat mengurangi efektivitas KPK dalam menjalankan tugasnya. Mengingat potensi risiko yang ada, mungkin perlu dipertimbangkan untuk Firli sementara mengambil langkah mundur atau diberhentikan sementara dari posisinya selama investigasi berlangsung. Hal ini akan memastikan bahwa proses investigasi berjalan dengan objektivitas dan integritas tanpa adanya gangguan atau intervensi.

Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)