Dalam suasana ketegangan mata uang dolar AS yang terus menguat terhadap rupiah, dengan prospek bahwa kondisi ini akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, pemerintahan hasil pemilihan presiden tahun 2024 harus siap menghadapi permasalahan ekonomi yang serius. Sebagian ekonom pun mulai memperingatkan tentang potensi krisis keuangan yang mengintai.

Awalil Rizky, seorang ekonom dari Bright Institute, menjelaskan dalam sebuah diskusi daring yang diadakan oleh Narasi Institute pada Jumat, 27 Oktober 2023, bahwa situasi ekonomi saat ini tidak dalam kondisi yang baik. Ia menyatakan bahwa ancaman krisis masih ada, terutama yang diperkirakan akan datang pada pertengahan tahun 2024.

Artinya, calon presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam pemilihan presiden tahun 2024 akan menghadapi tantangan berat dalam mengelola ekonomi. Saat ini, masuknya modal asing telah menurun, cadangan devisa (cadev) terus menyusut akibat tindakan moneter, dan kemampuan fiskal pemerintah dianggap kurang memadai.

Awalil menegaskan bahwa jika krisis pangan dan energi masih terus melanda dunia dan nilai tukar rupiah semakin melemah, tak ada pilihan selain untuk mengambil utang, terlepas dari siapa presidennya.

Awalil juga memperhatikan bahwa modal asing telah meninggalkan Indonesia, dan ini adalah kenyataan yang sulit untuk disangkal. Transaksi finansial seperti investasi langsung, portofolio, dan investasi lainnya selama bertahun-tahun cenderung mencatat surplus atau kelebihan masuk uang. Bahkan saat pandemi COVID-19 melanda pada tahun 2020 dan 2021, surplus tersebut tetap ada meskipun mengalami penurunan.

Namun, segalanya berubah pada tahun 2022. Transaksi finansial mengalami defisit pertama kalinya sejak tahun 2009, dengan jumlah mencapai 8,33 miliar dolar AS, bahkan menjadi rekor defisit terbesar dalam dua dekade terakhir.

Pada kuartal kedua tahun 2023, investasi portofolio yang meninggalkan Indonesia terus berlanjut seperti yang terjadi pada tahun 2022, mencapai angka 8,47 miliar dolar AS. Investasi lainnya selama paruh pertama tahun 2023 juga mencatat defisit sebesar 9,02 miliar dolar AS, melanjutkan tren defisit pada tahun 2022 yang mencapai 14,72 miliar dolar AS.

Awalil juga menyoroti masalah ketidaktransparanan beban utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Data yang akurat mengenai beban utang, bunga, dan cicilan dari BUMN sangat sulit didapatkan oleh para ekonom.

Awalil juga mengkritik pernyataan Bank Indonesia (BI) yang sering mengklaim bahwa cadangan devisa (cadev) masih dalam keadaan aman. Padahal menurutnya, kenyataannya tidak begitu. Pada Agustus 2021, IMF memberikan Special Drawing Rights (SDR) sebesar 4,46 miliar SDR, setara dengan 6,5 miliar dolar AS.

Padahal menurut Awalil, kenyataannya adalah bahwa cadev pada bulan September 2023 hanya mencapai 128 miliar dolar AS, merupakan posisi terendah dalam tujuh tahun terakhir. Pemberian SDR oleh IMF ini, menurutnya, tidak terkait dengan kinerja transaksi internasional yang biasa, tetapi secara akuntansi dicatat sebagai utang BI kepada IMF dan masuk dalam statistik Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia.

Sementara itu, menurut laporan Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2023 mencapai 134,9 miliar dolar AS atau setara dengan 2.117,93 triliun rupiah. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan cadangan devisa pada akhir Agustus 2023 yang mencapai 137,1 miliar dolar AS atau setara dengan 2.152,47 triliun rupiah.

Menurut Erwin, penurunan cadangan devisa ini disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk operasi moneter atau stabilisasi nilai tukar rupiah. Meski begitu, Erwin mengklaim bahwa cadangan devisa Indonesia masih dalam kondisi aman dan setara dengan pembiayaan impor selama enam bulan serta pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Cadangan devisa Indonesia juga masih di atas standar internasional yang setara dengan tiga bulan impor, dan masih mampu mendukung sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Sementara itu dalam diskusi daring yang sama, yang diadakan oleh Narasi Institute, Prof. Didin S Damanhuri, seorang ahli ekonomi senior, memberikan pandangannya mengenai situasi ekonomi dan politik Indonesia.

Berikut adalah rangkuman dari pemikiran Prof. Didin S Damanhuri dalam Zoominari tersebut:

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi Tinggi

Prof. Didin memulai dengan merinci situasi terkini tentang nilai tukar rupiah yang mendekati 16.000, merupakan hal yang terjadi bersamaan dengan pelemahan mata uang di negara-negara lain. Termasuk di negara Asia, di Asia Jepang adalah yang paling terkena dampak. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa pelemahan nilai tukar ini terjadi seiring dengan tingginya tingkat inflasi di Indonesia, yang mencapai 5,6%.

Kombinasi dari pelemahan nilai tukar dan inflasi yang tinggi ini terutama berdampak pada masyarakat bawah, terutama mereka yang berada di kelompok miskin ekstrem. “di Asia juga kelemahan terhadap mata uang masing-masing itu terjadi dan bahkan Indonesia bukan yang tertinggi kelemahannya, di Asia ini adalah Jepang yang tertinggi yang pertama, tapi masalahnya adalah bahwa nilai tukar yang melemah ini juga bersamaan dengan inflasi yang tinggi di kita yang terakhir ini adalah tertinggi beberapa tahun terakhir yaitu 5,6%.” Ungkap didin

Dampak pada Kelompok Masyarakat Bawah

Didin menekankan bahwa pelemahan nilai tukar dan inflasi tinggi telah membawa dampak terberat pada kelompok masyarakat bawah. Mereka mengalami penurunan daya beli karena harga-harga barang kebutuhan pokok, termasuk beras, cabai, dan bahkan Bahan Bakar Minyak (BBM) naik.

Inflasi yang terus meningkat akan semakin membebani masyarakat bawah, terutama karena program Bantuan Sosial (Bansos) yang telah berkurang, dan bantuan modal untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang semakin terbatas. “Ini akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Saya juga telah mengemukakan di berbagai forum bahwa ini akan berdampak terhadap perekonomian, jadi ekosistem politik yang buruk ini yang tidak demokratis, yang diskriminatif ini, nanti akan berdampak kepada bersamaan dengan peningkatan kembali bunga acuan, maka gejolak kurs rupiah akan berlangsung tambah buruk dan inflasi akan tambah naik.” Ujar Didin

Kondisi Politik yang Mempersulit Situasi

Zoominari ini juga menyoroti kondisi politik Indonesia yang sedang menghadapi tahun politik. Didin mencatat bahwa ada tanda-tanda ketidakdemokratisan dalam proses politik, terutama dalam konteks Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.

Diskriminasi dan ketidakdemokratisan dalam pengambilan keputusan MK menjadi sangat mencolok. Kejadian di MK, di mana seorang ketua MK mengubah keputusan sebelumnya yang menolak permintaan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), telah menjadi perdebatan nasional. Profesor Arif Hidayat, hakim MK, bahkan menganggapnya sebagai peristiwa diskriminasi politik dan hukum.

“Situasi politik ini tentu saja sangat berakibat terhadap kondisi perekonomian.” Ungkap Didin S Damanhuri ekonom senior, Jumat (27/10/2023)

Dampak Moneter dan Non-Moneter

Didin menggambarkan bahwa situasi saat ini adalah hasil dari kombinasi faktor moneter dan non-moneter. Pelemahan nilai tukar dan inflasi tinggi adalah faktor-faktor moneter yang merugikan masyarakat bawah.

Didin juga menyatakan bahwa isu-isu politik, terutama yang terkait dengan peristiwa di Mahkamah Konstitusi (MK), memiliki implikasi yang sangat signifikan pada situasi ekonomi.

Didin mengamati, “Situasi politik ini tentu saja sangat berakibat terhadap kondisi perekonomian. Nanti hakim MK yang lima orang itu terutama ketua MK kalau lihat pernyataan-pernyataan Jimly Asshiddiqie sebagai yang mengetuai nanti pengadilan etik ini kemungkinan besar ini akan ada sanksi terhadap MK (mahkamah konstitusi), ini dampaknya secara moral tentu saja akan berdampak kepada cawapresannya Gibran dan banyak sekali reaksi di masyarakat.” Ungkapnya.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Didin menyatakan keprihatan bahwa peristiwa politik dan ekonomi saat ini memiliki potensi untuk memicu gejolak sosial dan politik yang dapat merugikan pertumbuhan ekonomi. Dia mengingatkan bahwa pelemahan kurs rupiah, inflasi, dan situasi politik yang buruk adalah faktor-faktor yang tidak kondusif untuk ekonomi Indonesia. Jika ketidakpastian dan gejolak terus berlanjut, ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan mempengaruhi sentimen investor.

Didin juga menggarisbawahi isu nepotisme dalam konteks kebijakan dan politik. Didin menjelaskan, “Kondisi politik ini merupakan puncak dari isu nepotisme di mana seorang ketua MK terlibat secara personal yang seharusnya dia harus imparsial. Ini menciptakan ketidaksetaraan dan keraguan dalam proses pengambilan keputusan.” Isu nepotisme dan diskriminasi politik ini dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik Indonesia.

tidak hanya itu, Didin juga menggambarkan situasi yang memperlihatkan kemiripan dengan peristiwa masa lalu. Dia menyebutkan, “Kemudian anaknya diangkat menjadi seorang menteri hasil pemilu 2006 waktu itu dan menjelang ke 2008 itu kemudian terjadi gejolak harga BBM properti ini mirip sekarang ini, jadi pengeluaran untuk properti ribuan triliun sudah dan Apa dampak terhadap pertumban ekonomi ini ada time late.” Situasi seperti ini, menurutnya, tidak kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dalam jangka waktu dekat.

Kesimpulan

Zoominari ini menggambarkan situasi kompleks yang sedang dihadapi oleh Indonesia, di mana faktor moneter dan non-moneter saling terkait. Kondisi politik yang tidak demokratis dan peristiwa politik yang mencolok seperti keputusan MK yang kontroversial berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Prof. Didin S Damanhuri merinci beberapa skenario yang mungkin terjadi dan menyarankan bahwa situasi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mencegah gejolak yang lebih besar.