Gerakan dedolarisasi yang memprotes dominasi dolar Amerika Serikat (USD) dalam perdagangan dan investasi global terus meluas hingga mencapai Asia Tenggara. Saat ini, Malaysia telah menjadi salah satu pelopor dalam gerakan dedolarisasi di wilayah tersebut dengan berencana meningkatkan penggunaan mata uang lokalnya dalam perdagangan.
CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, MPP mengatakan keputusan ini memiliki potensi dampak yang signifikan pada ekonomi regional dan keterkaitan dengan negara tetangga, termasuk Indonesia. Malaysia, yang tengah berjuang dengan penurunan tajam nilai ringgit terhadap dolar AS, telah menyampaikan rencana untuk meminimalkan ketergantungannya pada dolar tersebut.
Apalagi, kata Nur Hidayat, Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim telah menyatakan bahwa negaranya akan lebih aktif dan agresif dalam penggunaan ringgit dalam perdagangan. “Langkah ini didorong oleh keinginan untuk mengatasi volatilitas mata uang dan meningkatkan kestabilan ekonomi domestik,” lanjut dia, dikutip Jumat (13/10/2023).
Sementara itu, dalam konteks regional, Malaysia telah menjalin perjanjian dengan Indonesia, Thailand, dan China untuk mempromosikan perdagangan dan investasi dalam mata uang lokal, menggiring arus keuangan internasional menjauh dari dolar AS. Penurunan tajam nilai ringgit, yang telah kehilangan sekitar 7,6% dari nilainya terhadap dolar AS selama tahun ini, merupakan isyarat kuat bahwa Malaysia ingin mencari alternatif yang lebih kuat dan stabil untuk perdagangan internasional.
“Sebagai negara tetangga Malaysia, Indonesia akan merasakan dampak dari pergeseran ini. Langkah Malaysia dalam melakukan dolarisasi perdagangan dapat membuka peluang baru untuk kerja sama ekonomi regional,” lanjut Nur Hidayat.
Indonesia dan Malaysia, kata Nur Hidayat, memiliki hubungan dagang yang kuat, dan jika kedua negara dapat mengadopsi lebih banyak mata uang lokal dalam perdagangan mereka, ini dapat mengurangi risiko akibat fluktuasi nilai tukar dolar AS. Namun, Indonesia juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap ekonomi dan stabilitas regional secara keseluruhan.
“Indonesia sendiri telah mencoba memperkuat penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional, dan upaya Malaysia dapat menjadi dorongan tambahan untuk mempromosikan mata uang regional,” kata Nur Hidayat.
Menurut Nur Hidayat, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam gerakan dedolarisasi ini. Pertama, menghentikan ketergantungan total pada dolar AS dapat menjadi tantangan yang signifikan karena dolar telah menjadi mata uang cadangan global yang diandalkan oleh banyak negara.
Kedua, ada kekhawatiran bahwa upaya dedolarisasi dapat menciptakan ketidakpastian dan fluktuasi dalam perdagangan internasional. Investasi dan perdagangan yang mengandalkan berbagai mata uang lokal mungkin mengalami risiko yang lebih besar terkait nilai tukar dan stabilitas.
Ditambahkan Nur Hidayat, untuk mencapai stabilitas dedolarisasi dalam perdagangan dan investasi regional di Asia Tenggara, diperlukan kerja sama yang kuat antara negara-negara di wilayah ini. Kerja sama regional dapat menciptakan kerangka kerja yang memudahkan dedolarisasi yang terkoordinasi, meminimalkan ketidakpastian, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, negara-negara di wilayah ini perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi risiko yang muncul akibat dedolarisasi. Dengan diversifikasi portofolio mata uang mereka, mereka dapat mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar yang mungkin terjadi.
“Agar dedolarisasi menjadi sukses, edukasi pasar sangat penting,” katanya.
Nur Hidayat mengatakan, pemerintah dan lembaga keuangan harus berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada pelaku bisnis dan masyarakat agar mereka memahami manfaat dedolarisasi serta cara efektif mengelola risikonya. Dengan langkah-langkah tersebut, negara-negara di Asia Tenggara dapat membangun fondasi yang kuat untuk mengadopsi dedolarisasi yang berkelanjutan dalam sistem perdagangan dan investasi mereka.
Sebagai kesimpulan, gerakan dedolarisasi yang semakin diterima di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia, menciptakan peluang dan tantangan yang signifikan bagi negara-negara di wilayah ini. Langkah Malaysia untuk mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan juga dapat membuka jalan bagi lebih banyak kerja sama regional dan diversifikasi mata uang, tetapi juga memerlukan tindakan hati-hati dan koordinasi.
“Dedolarisasi mungkin merupakan perubahan signifikan dalam lanskap ekonomi Asia Tenggara, yang harus dikelola dengan bijak untuk mengoptimalkan manfaatnya dan mengurangi risikonya,” katanya.
Sumber: nawacitapost.com