Dalam lanskap global saat ini, kita menyaksikan gejolak harga beras yang signifikan, yang dipicu terutama oleh keputusan mendadak India untuk menghentikan ekspor beras.
Keputusan ini bukan hanya mengguncang pasar global, tetapi juga memberikan dampak langsung dan mendalam pada ekonomi Indonesia. Sebagai negara dengan populasi besar yang mengandalkan beras sebagai makanan pokok, dampak dari kenaikan harga ini sangat terasa di kalangan tructural.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa kenaikan harga beras di Indonesia dipengaruhi oleh tren kenaikan harga di negara lain. Faktor utama lainnya adalah keputusan beberapa negara, termasuk India, untuk menghentikan ekspor beras. Situasi serupa terjadi pada harga gandum, dengan Ukraina dan Rusia menghentikan ekspor.
Namun, apa yang tampak sebagai krisis harga di permukaan, sebenarnya adalah cerminan dari serangkaian isu tructural yang telah lama menghantui ketahanan pangan Indonesia. Dari isu kepemilikan lahan, urbanisasi, hingga kebijakan impor yang kerap menjadi solusi jangka pendek, semua berkontribusi pada kerentanan kita terhadap fluktuasi harga beras global.
Data dari Badan Pangan Nasional menunjukkan harga beras medium nasional mencapai Rp 12.760 per kg, melebihi HET yang ditetapkan.
Kondisi Ekonomi dan Ketergantungan Impor
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai swasembada pangan. Namun, kenyataannya, kita masih bergantung pada impor beras. Setiap tahunnya, kebijakan impor beras menjadi solusi jangka pendek untuk mengatasi krisis pangan, namun pada saat yang sama, kebijakan ini menambah ketergantungan kita pada negara lain dan mengabaikan potensi pertanian omestic. Kenaikan harga beras global, seperti yang kita alami saat ini, menjadi bukti betapa rentannya kita terhadap dinamika pasar internasional.
Isu Kepemilikan Lahan dan Urbanisasi
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh sektor pertanian kita adalah konversi lahan. Urbanisasi dan pembangunan infrastruktur telah mengurangi lahan pertanian yang tersedia. Banyak lahan pertanian yang sebelumnya digunakan untuk bercocok tanam beras kini telah berubah fungsi menjadi area perumahan, industri, atau infrastruktur lainnya. Fragmentasi lahan juga menjadi masalah, di mana banyak petani memiliki lahan yang relatif kecil dan terfragmentasi, membuat produksi menjadi kurang efisien.
Kritik terhadap Food Estate
Program food estate, yang dirancang sebagai jawaban atas tantangan ketahanan pangan nasional, tampaknya belum memenuhi ekspektasi. Pendekatan yang dominan bersifat korporatif, tanpa mempertimbangkan esensi kesejahteraan dan nilai-nilai budaya petani, menjadi titik lemah dari inisiatif ini. Penting untuk diakui bahwa pertanian bukan sekadar mesin produksi, melainkan juga sebuah ekosistem yang mengedepankan kesejahteraan dan menghargai warisan budaya petani. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan kedua aspek ini agar dapat memberikan manfaat yang olistic bagi seluruh pemangku kepentingan.
Masalah Kelembagaan dan Koordinasi
Dalam konteks kelembagaan, tampaknya ada kekurangan signifikan dalam koordinasi, terutama di Bappanas, terkait dengan persiapan dan respons terhadap isu pangan nasional. Koordinasi di lapangan yang dilakukan oleh Bappanas seringkali hanya dihadiri oleh para eselon III dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Hal ini mengakibatkan koordinasi yang terjadi kurang memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan strategis, karena tidak melibatkan pemangku kepentingan yang memiliki wewenang lebih tinggi. Absennya koordinasi yang efektif berpotensi menjadikan kita rentan terhadap krisis pangan yang berulang setiap tahun. Ditambah lagi, tantangan-tantangan baru seperti perubahan iklim dan frekuensi bencana alam yang meningkat memerlukan adaptasi dan respons yang lebih terintegrasi dari embaga-lembaga terkait. Untuk itu, diperlukan pembenahan embagaal dan peningkatan kapasitas koordinasi antar embaga agar kita dapat merespons dengan cepat dan efektif terhadap dinamika ketahanan pangan yang semakin kompleks.

Rekomendasi
Dalam menghadapi krisis ketahanan pangan yang saat ini dihadapi oleh Indonesia, ada beberapa langkah strategis yang harus segera diambil. Pertama, mengingat urgensi situasi saat ini, pemerintah harus segera melakukan operasi pasar terbuka. Ini bukan hanya untuk menstabilkan harga beras di pasar domestik, tetapi juga untuk memberikan kepastian pasokan kepada masyarakat. Langkah ini harus didukung dengan transparansi data stok pangan nasional agar masyarakat dapat memahami situasi yang sebenarnya.
Selanjutnya, infrastruktur transportasi dan penyimpanan yang memadai adalah kunci untuk meminimalkan kehilangan pasca panen. Investasi dalam infrastruktur pertanian, seperti jalan, gudang penyimpanan, dan fasilitas pengolahan, harus menjadi prioritas. Dengan infrastruktur yang lebih baik, distribusi beras dari daerah produksi ke konsumen akan lebih efisien, mengurangi biaya dan kehilangan.
Mengedukasi petani tentang teknik pertanian modern, penggunaan pupuk dan pestisida yang efisien, serta manajemen lahan adalah esensial. Pelatihan ini dapat membantu petani meningkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan. Mengingat banyaknya petani muda yang beralih profesi, program pemberdayaan khusus untuk generasi muda harus diluncurkan. Ini bisa berupa insentif, akses modal dengan bunga rendah, atau pelatihan bisnis pertanian.
Integrasi teknologi dalam pertanian, seperti penggunaan drone untuk pemantauan lahan, aplikasi pertanian untuk pemantauan cuaca, dan mesin-mesin modern, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Mengingat dinamika pasar global, membangun kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam hal pangan dapat menjadi solusi jangka panjang. Kerjasama ini bisa berupa pertukaran teknologi, penelitian bersama, atau bahkan pembentukan cadangan pangan regional.
Meskipun impor mungkin diperlukan dalam situasi tertentu, ketergantungan berlebihan dapat menghambat perkembangan industri beras domestik. Kita harus memfokuskan upaya untuk meningkatkan produksi domestik, baik melalui peningkatan luas tanam maupun produktivitas. Terakhir, dalam setiap kebijakan pertanian, kesejahteraan dan budaya petani harus selalu menjadi prioritas. Ini berarti memastikan bahwa petani mendapatkan harga yang adil untuk hasil panennya, memiliki akses ke sumber daya yang mereka butuhkan, dan dihormati sebagai pemangku kepentingan utama dalam industri pangan.
Krisis harga beras yang kita alami saat ini bukan hanya soal kenaikan harga di pasar global, tetapi juga tentang bagaimana kita mengelola sumber daya dan potensi yang kita miliki. Kemandirian pangan bukan hanya soal memenuhi kebutuhan, tetapi juga tentang membangun ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Sebagai bangsa, kita harus segera mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah dinamika global yang penuh tantangan.
Opini oleh Achmad Nur Hidayat, Ahli Kebijakan Publik UPN & CEO Narasi Institute