Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute
Konflik yang muncul dari proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, telah menarik perhatian publik, terutama setelah insiden kekerasan yang terjadi pada 7 September 2023.
Pada hari tersebut, aparat gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Ditpam Badan Pengusahaan, dan Satpol PP melakukan tindakan keras terhadap warga di Jembatan 4 Barelang. Insiden ini terkait dengan aktivitas pematokan tanah yang merupakan bagian dari proyek Rempang Eco-city, sebuah inisiatif yang dikembangkan oleh BP Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG).
Protes juga berlanjut pada Senin 11/9/2023 dimana sekitar 1.000 orang berkumpul di luar gedung BP Batam untuk memprotes penggusuran warga demi pembangunan Rempang Eco-City. Para Demonstran melempar botol dan batu ke gedung pemerintah, dan polisi merespons dengan meriam air dan gas air mata. Empat puluh tiga demonstran ditangkap. Taman industri ini telah mendapatkan komitmen sebesar $11,5 miliar dari produsen kaca China, Xinyi Group, dan telah mendapat tentangan dari warga setempat. Sekitar 7.500 warga diperkirakan akan digusur untuk pembangunan taman ini.
Rencana Rempang Eco City tersebut tercatat banyak terjadi pelanggaran HAM. Berdasarkan temuan awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang oleh 9 lembaga termasuk YLBHI, WALHI, Kontras dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang, terdapat lima potensi pelanggaran HAM diantaranya adalah:
Pertama, pada tanggal 7 September 2023, terjadi penangkapan sewenang-wenang terhadap 8 masyarakat. Meskipun Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata, penangkapan ini tetap dilakukan.
Kedua, penembakan gas air mata di dekat sekolah SDN 24 dan SMPN 22 Galang mengakibatkan kepanikan, ketakutan, dan luka fisik pada anak-anak yang sedang belajar. Selain itu, proyek Rempang Eco-City dianggap mengabaikan peran dan aspirasi perempuan Melayu yang telah hidup di lahan tersebut secara turun temurun.
Ketiga, pasca peristiwa kekerasan tanggal 7 September 2023, aparat gabungan melakukan pengamanan di Pulau Rempang. Terdapat setidaknya 5 posko penjagaan di Pulau Rempang, yang berfungsi sebagai screening bagi siapapun yang masuk ke Pulau Rempang.
Keempat, dari bulan Juli hingga Agustus 2023, warga di Pulau Rempang mendapatkan ancaman kriminalisasi melalui Surat Pemanggilan dari berbagai instansi pemerintah. Ancaman ini berkaitan dengan berbagai pasal terkait perbuatan melawan hukum yang menghambat investasi, pendudukan lahan secara ilegal, dan lain-lain.
Kelima, pelanggaran yang terjadi di Rempang dianggap melanggar berbagai instrumen HAM, termasuk nilai HAM dalam konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Temuan tersebut mengidentifikasikan bahwa ada ketidakterbukaan informasi dari peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang diantaranya adalah
Pertama, pasca peristiwa kekerasan yang terjadi di Rempang, Batam, pihak Kepolisian mengeluarkan beberapa pernyataan resmi. Salah satunya, lewat Kepala Biro Pelayanan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa pada peristiwa Rempang.
Namun, temuan tersebut menunjukkan bahwa pernyataan tersebut keliru. Selama dua hari, yakni pada 11 – 12 September 2023, tim investigasi dari Solidaritas Nasional Untuk Rempang berupaya mendata jumlah para korban yang terdampak akibat peristiwa kekerasan dan menemukan setidaknya terdapat 20 orang yang terdampak baik secara fisik maupun psikologis.
Kedua, berdasarkan data yang ditemukan, terdapat 11 orang korban yang berasal dari SMPN 22 dengan rincian 10 murid dan seorang guru perempuan yang dibawa ke RS Embung Fatimah. Sebagian besar korban murid lainnya dibawa oleh TNI ke RS Marinir.
Ketiga, dalam bentrokan tersebut, Polri kembali menggunakan gas air mata dan menembakkannya secara serampangan ke massa aksi dan lingkungan sekitar. Salah satu bukti penggunaan gas air mata yang tidak terukur adalah ditembakannya gas air mata ke lokasi yang tidak jauh dari gerbang sekolah yaitu SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang.
Keempat, pasca aksi di BP Batam, terdapat 28 orang ditangkap oleh Polresta Barelang dan 15 orang yang ditangkap oleh Polda Kepri.
Dari temuan di atas, tampaknya ada ketidaksesuaian antara pernyataan resmi dari pihak kepolisian dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti penggunaan kekerasan oleh aparat dan penggunaan gas air mata di dekat fasilitas pendidikan, menjadi isu utama yang teridentifikasi dari peristiwa tersebut.
Transparansi dan keterbukaan informasi terkait kompensasi juga dirasakan kurang. Sebagai contoh BP Batam hanya melakukan dua kali sosialisasi kepada warga yang terdampak, proses tersebut dianggap kurang inklusif dan hanya berlangsung searah. Sosialisasi, yang dilakukan melalui undangan informal via WhatsApp, meminta warga untuk membawa dokumen yang menunjukkan kepemilikan tanah mereka.
Ini menunjukan bahwa pemerintah kota batam dan BP batam hanya menyampaikan informasi searah, tanpa memperhatikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi publik sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Pentingnya Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu prinsip dasar dalam demokrasi yang memastikan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan mengakses informasi terkait kebijakan, program, dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah atau entitas publik lainnya.
Terkait dengan Rempang Eco City dan kebijakan publik, pentingnya keterbukaan informasi publik dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan partisipasi, mencegah korupsi, melindungi HAM, mendukung pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kepercayaan publik.
Keterbukaan informasi memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek, mendapatkan informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat dihormati dan dipenuhi.
Keterbukaan informasi memungkinkan adanya dialog konstruktif antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat. Dengan informasi yang transparan, masyarakat dapat memberikan masukan, kritik, dan saran yang konstruktif terhadap proyek, sehingga potensi konflik dapat diminimalkan.
Keterbukaan informasi memastikan akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam proyek. Dengan informasi yang transparan, pihak-pihak yang bertanggung jawab dapat diawasi oleh masyarakat dan pihak ketiga lainnya, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan pelanggaran lainnya dapat dicegah.
Keterbukaan informasi memastikan bahwa proyek dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam konteks Rempang Eco City, banyak masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek, sehingga penting bagi pemerintah dan pengembang untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat dihormati dan dipenuhi.
Keterbukaan informasi memastikan bahwa proyek dilaksanakan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan budaya. Dengan informasi yang transparan, potensi dampak negatif proyek terhadap lingkungan dan masyarakat dapat diidentifikasi dan dicegah.
Sayangnya, fakta-fakta diatas menggambarkan bahwa keterbukaan informasi publik masih belum optimal dalam kasus Pulau Rempang. Protes yang kuat sebenarnya menunjukan lemahnya keterbukaan informasi dari proyek nasional stategis Rempang Eco City yang ditetapkan pemerintah pusat tersebut.
Melihat besarnya investasi yang ditanamkan dalam proyek ini dan potensi dampak yang dapat ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan di Pulau Rempang, seharusnya keterbukaan informasi publik adalah sesuatu yang wajib dipenuhi baik oleh BP Batam, Aparat Keamanan maupun oleh Pemerintah Pusat.
Bersambung ke bagian 3…