Kesetaraan akan menjadi nilai (value) utama yang terus dihormati bersama oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Asean. Bahkan, nilai kesetaraan akan tetap dijunjung bersama dalam bingkai persatuan dan kebersamaan, meski nilai tersebut saat ini terlihat telah menjadi barang langka di dunia.

“Tapi di Asean berbeda, kesetaraan justru menjadi value utama yang kita hormati dan kita junjung bersama dalam bingkai persatuan dan kebersamaan, sehingga kapal besar Asean dapat terus melaju,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato pada Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 Asean di Jakarta, Selasa (05/09/2023).

Dalam pidatonya di hadapan para pemimpin Asean itu, Presiden cukup intensif memberikan penekanan terhadap isu kesetaraan, meski tidak menjabarkan lebih rinci terkait ketidaksetaraan yang terjadi di dunia saat ini. Dalam pidatonya yang berlansung sekitar lima menit 21 detik itu, Jokowi menyebut kata ‘setara’ atau ‘kesetaraan’ hingga sebanyak lima kali.

Bahkan, Presiden pun menyebutkan, bahwa banyak persoalan yang mencuat di dunia selama ini bermula dari adanya ketidaksetaraa. “Banyak ketidakadilan dan konflik terjadi akibat tidak adanya kesetaraan,” ucap Jokowi.

Sebelum sampai pada pernyataan soal kesetaraan itu, Jokowi sempat menyebutkan bahwa sebagai negara yang memiliki beragam suku, budaya, bahasa, dan agama, bagi Indonesia kesatuan adalah sebuah harmoni dalam perbedaan. Itu termasuk di dalamnya soal perbedaan pendapat.

Namun demikian, menurut Jokowi, justru perbedaan pendapat tersebutlah yang menyuburkan demokrasi. Keberadaan perbedaan pendapat tersebut juga menunjukkan bahwa sesama anggota sebagai keluarga memiliki kedudukan yang setara.

Menangkap Fenomena

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, pidato pembukaan Presiden Jokowi di KTT ke-43 Asean sangat bagus. “Beliau mampu menangkap fenomena geopiltik yang berlangsung dan mengingatkan dampaknya bila menjadi proxy kekuataan besar bahkan sekadar mengekor,” ucap dia menjawab pertanyaan Investor Daily, Selasa (05/06/2023) malam.

Menurut Hikmahanto, Presiden merasa perlu untuk meneguhkan agar negara-negara Asean tidak terombang-ambing dengan berbagai kekuatan dunia dan menjadi proksi bagi mereka yang berkompetisi di kawasan. Ini tentu untuk mengingatkan agar negara-negara di Asean tidak hanya mengekor kekuatan besar.

Ia menilai wajar bila Presiden Joko Widodo mengingatkan hal tersebut agar kapal Asean tidak pecah. “Ini semua ‘kan fenomena yang terjadi pada saat ini. Asean belakagan sulit mengambil keputusan yang didasarkan pada konsensus karen ada tangan-tangan negara besar. Meski tidak disebut oleh Presiden, yang dimaksud utamanya tentu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok,” ucap dia.

Menurut dia, AS menggunakan beberapa negara Asean untuk alasan berseteru dengan Tiongkok. Sebaliknya, Tiongkok memanfaatkan kedekatan dengan negara-negara Asean untuk menjaga kepentingannya, terutama terkait sengketa teritorial. Asean harusnya seperti Indonedia yang menerapkan politik luar negeri bebas aktif.

“Kita bisa bekerja sama dengan siapa pun kekuatan besar sepanjang untuk kepentingan nasional kita. Harusnya Asean pun demikian. Asean bekerja sama dengan siapapun negara demi kepentingan Asean yaitu menyejahterakan rakyat dan menjaga kestabilan dan keamanan kawasan,” papar dia.

Sedangkan kesetaraan dalam konteks Asean, menurut Hikmahanto, adalah jangan ada negara yang mendikte negara lain. Apalagi menceramahi untuk patuh pada hukum internasional dan hak asasi manusia (HAM) ternyata yang menceramahi justru pelanggar hukum tersebut. “Contohnya Uni Eropa terkait hilirisasi di Indonesia dan pelarangan oleh Uni Eropa terkait produk sawit,” pungkas dia.

Kesatuan Asean

Presiden mengaku, akhir-akhir ini dirinya sering mendengar pertanyaan publik terkait Asean seputar masa depan dan keberlanjutan. “Sebagai anggota keluarga dan sebagai Ketua Asean, saya ingin menegaskan bahwa kesatuan Asean sampai dengan saat ini masih terpelihara dengan baik. Kesatuan jangan diartikan tidak ada perbedaan pendapat,” tandas Jokowi.

Presiden mengatakan, Asean menyadari bahwa dunia saat sedang tidak baik-baik saja. Tantangan masa depan semakin berat dan mengakibatkan perebutan pengaruh oleh kekuatan besar. Tapi, Asean sudah sepakat untuk tidak menjadi proksi bagi kekuatan manapun untuk bekerja sama dengan siapapun bagi perdamaian dan kemakmuran.

“Jangan jadikan kapal kami, Asean, sebagai arena rivalitas yang saling menghancurkan, tapi jadikanlah kapal Asean ini sebagai ladang untuk menumbuhkan kerja sama untuk menciptakan kemakmuran, menciptakan stabilitas, menciptakan perdamaian, yang tidak hanya bagi kawasan tapi juga bagi dunia,” papar Presiden.

Menurut Presiden, samudra dunia terlalu luas untuk dilayari seorang diri. “Dalam perjalanan kita akan ada kapal-kapal lainnya, kapal-kapal mitra Asean. Mari kita bersama mewujudkan kerja sama yang setara dan saling menguntungkan untuk berlayar bersama menuju epicentrum of growth.

Kesatuan dan Sentralitas

Sedangkan pada Pembukaan Sesi Pleno KTT ke-43 Asean, Presiden menandaskan, kunci utama untuk menghadapi besarnya tantangan dunia saat ini adalah kesatuan dan sentralitas Asean. “Arah Asean jelas menjadi epicentrum of growth. Modal Asean besar untuk meraihnya, tapi Asean harus mampu bekerja lebih keras, lebih kompak, lebih berani, dan lebih gesit,” tutur Jokowi.

Selain itu, lanjut Presiden, Asean juga butuh strategi taktis jangka panjang yang relevan dan sesuai harapan rakyat, yang tidak hanya untuk lima tahun ke depan tapi 20 tahun depan sampai 2045. “Dan, saya mengapresiasi dukungan negara anggota Asean dalam pembahasan Asean Concord IV,” kata dia.

Menurut Presiden, Asean sebagai bagian dari kawasan Indo Pasifik juga terus konsisten bekerja keras, baik menggunakan pendekatan inklusif melalui kerja sama Sekretariat Asean dengan Sekretariat Pacific Island Forum (PIF) dan Indian Ocean Rim Association (IORA), maupun pendekatan ekonomi dan pembangunan melalui ASEAN Indo Pacific Forum. Sehingga, Asean bisa berdampak bagi rakyatnya dan juga bagi dunia.

Asean sebagai kapal besar, lanjut Presiden, memiliki tanggung jawab yang juga besar pada ratusan juta jiwa rakyat yang berlayar bersama di dalamnya. “Kita harus menjadi nahkoda di kapal kita sendiri untuk mewujudkan perdamaian, mewujudkan stabilitas, mewujudkan kemakmuran bersama,” pungkas Presiden.

Penting bagi Asean

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, penegasan kesetaraan adalah value utama Asean dan Asean tidak menjadi proksi bagi kekuatan mana pun seperti disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam KTT Asean ke-43 menjadi penting bagi Asean yang ingin menjadi pusat pertumbuhan (epicentrum of growth/EOG) dunia seperti yang tema Keketuan Asean Indonesia tahun ini, Asean Matters: Epicentrum of Growth.

“Penegasan seperti itu memang penting untuk mewujudkan posisi Asean sebagai EOG dunia. Karena kalau menjadi EOG maka Asean itu harus bebas aktif, tidak menjadi proksi dari kepentingan negara Barat versus Tiongkok dan Rusia atau kepentingan-kepentingan lain yang bisa membuat kekacauan dari arah pembangunan dan kerja sama di Asean,” tutur Bhima kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (05/09/2023).

Apalagi, dalam konteks geopolitik seperti saat ini yang diwarnai perang dagang AS-Tiongkok, masalah proteksi dagang dari banyak negara seperti India dan Bangladesh yang melarang ekspor beras, juga masalah Ukraina dan Rusia terkait gandum. “Ketegangan geopolitik yang meningkat seperti ini bisa berpengaruh terhadap kesolidan negara-negara di Asean. Karenanya, penegasan posisi Asean seperti itu menjadi penting, khususnya dalam bidang ekonomi,” tutur Bhima.

Di Asean sendiri, terdapat perdagangan ekspor-impor sesama negara Asean (intratrade) yang besarnya mencapai US$ 791 miliar. Di sisi lain, demografi Asean umumnya masuk kelompok produktif dan berusia muda, sehingga kondisi geopolitik di luar Asean yang dibarengi dengan adanya prinsip kesetaraan dan bebas proksi harusnya menjadi pelecut bagi Asean untuk menempatkan diri sebagai basis produksi dalam rantai pasok global.

Menurut Bhima, Asean tidak menjadi proksi bagi kekuatan mana pun berarti memenuhi unsur independensi. Untuk mewujudkan EOG, idealnya Asean tidak tergantung pada program-program pembiayaan dari Tiongkok maupun negara-negara Barat. “Harus ada independensi dan saling bantu dan mendukung sesama negara kawasan Asean,” ujar dia.

Penegasan Presiden Jokowi, kata Bhima, juga menjadi pengingat khususnya bagi Indonesia untuk memiliki keberpihakan yang jelas di tengah menguatnya konflik di Laut China Selatan. Indonesia jangan gampang tergoda rayuan pinjaman dari Tiongkok atau membuat balancing of power dengan mendekat ke Barat. “Indonesia justru harus mendekat ke negara intra-Asean,” tutur Bhima.

Menghindari Hegemoni

Sedangkan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyatakan, penegasan Jokowi bisa menjadi upaya Asean untuk menghindari hegemoni negara-negara besar, baik Blok Barat, Blok Timur, atau blok lainnya. “Secara geopolitik, hal itu bisa diartikan agar tidak ada hegemoni dari negara-negara besar di Asean ya, baik Blok Barat, Blok Timur, atau blok lainnya. Asean tidak bisa dikuasai secara politik, sehinga Asean bebas menentukan mitra dalam politik maupun ekonomi, sehingga tidak ada namanya lawan, kawan semua, ini menjadikan Asean lebih bermartabat,” ungkap Tauhid saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Selasa (05/09/2023).

Kesetaraan adalah value utama Asean, kata Tauhid, artinya antarnegara Aasean sendiri setara atau tidak ada yang menjadi paling kuat di antara yang lain atau semua sama. Pun dalam konteks geoplolitik, meski Singapura merupakan negara maju ataupun Indonesia sebagai pasar paling besar karena penduduknya terbanyak, semuanya setara dengan negara lainnya di Asean secar proporsional.

Dalam bidang ekonomi, lanjut dia, kesetaraan itu mendorong masing-masing negara berusaha meningkatkankan kesejahteraan (welfare) melalui kerja sama yang lebih kuat dari sebelumnya. “Di bidang perdagangan, isu pengurangan tarif, dedolarisasi, itu wujud konkret untuk memenuhi kesetaraaan. Kesetaraan juga berlaku dengan kekuatan wilayah-wilayah lainnya, sehingga Asean harus punya kekuatan sama saat bicara regional Asean atau dengan regional lainnya,” ujar Tauhid.

Menurut dia, pernyataan Presiden Jokowi tersebut memiliki artikulasi yang menarik, sehingga tinggal bagaimana mewujudkan atau mengonkretkannya dalam beragam isu di Asean. “Soal kesetaraan ini sebenarnya sudah jalan. Misalnya saat ini Indonesia sebagai Ketua Asean berarti sebagai leader atau pemimpin, begitu pun nanti gantian dengan negara lain. Tinggal bagaimana selanjutnya Asean bersama-sama menangani isu ekonomi, melakukan negosiasi, kampanye, dan sosialisasi agar beragam isu geopolitik mapun isu lain yang merugikan negara Asean diperjuangkan,” jelas Tauhid.

Asean tidak menjadi proksi bagi kekuatan mana pun bisa dicontohkan dalam menyikapi kasus Laut China Selatan, posisi negara-negara Asean harusnya tidak didominasi kekuatan Tiongkok atau mana pun. Indonesia bisa bermitra dengan negara lain dalam rangka menegakkan hukum laut internasinal yang sudah disepakati. Termasuk tidak adanya dominasi negara ke dalam mitra perdagangan, artinya misalnya Indonesia juga bebas mengalihkan kemitraan perdagangannya ke negara lainnya sepanjang saling menguntungkan dan bisa membuat ekonomi ke depan lebih baik.

“Apakah penegasan Presiden Jokowi itu bisa diserap dalam deklarasi akhir KTT Asean, ya intinya deklarasi itu harus konkret. Kalau mau konkret dengan kesetaraan ya diimplementasikan dalam perjanjian perdagangan, negara yang menguasai teknologi dan memiliki ekspor tinggi dan menyedot devisa besar juga harus merelakan kalau nanti ada negara lain yang mengenakan pajak untuk melindungi industri dalam negerinya,” pungkas Tauhid.

CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat berpendapat, Indonesia sebagai salah satu pendiri Asean memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan kawasan ini tetap stabil dan tidak dikuasai oleh hegemoni Timur atau Barat. Persamaan hak di antara anggota Asean adalah sebuah prinsip yang sudah seharusnya menjadi pondasi organisasi yang telah berdiri sejak 1967 tersebut.

“Dibandingkan dengan PBB, di mana hanya beberapa negara yang memegang hak veto dan memiliki kekuasaan yang tidak sebanding, tentunya sangat realistis jika Asean berkomitmen pada kesetaraan. Ini berarti setiap negara, tanpa memandang ukuran atau kekuatannya, memiliki suara yang sama dalam pembuatan keputusan,” kata Achmad.

Sumber: investor.id