Ketika Bom Sudah Dijatuhkan, Apa yang Akan Naik? Jawabannya: Harga, Ketegangan, dan Risiko Global

Mengapa Amerika Serikat, negara yang selalu mendaku sebagai penjaga demokrasi dan perdamaian dunia, kini justru bersekutu dengan Israel dalam melancarkan serangan udara ke Iran?

Pertanyaan ini bukan hanya mengguncang ranah diplomasi internasional, tetapi juga akan menimbulkan guncangan di pasar minyak, keuangan, hingga stabilitas kawasan.

Minggu ini 22 Juni, Presiden Donald Trump mengonfirmasi bahwa pasukan udara AS telah menjatuhkan bom pada tiga situs nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, dan Esfahan.

Langkah ini menjadi babak baru dalam agresi militer terhadap Republik Islam Iran, yang sebelumnya sudah diserang Israel selama sepekan penuh dalam Operasi Rising Lion.

Amerika tak hanya menjadi penyokong dari balik layar, kini tampil sebagai pelaku langsung.

Tetapi, benarkah ini soal mencegah proliferasi senjata nuklir?

Atau justru kita sedang menyaksikan satu lagi episode dari doktrin hegemoni yang dibalut narasi keamanan?

Standar Ganda dan Kebohongan 4.0

Analoginya begini: bayangkan seorang polisi yang menuduh tetangganya menyimpan senjata di rumahnya, lalu tanpa bukti yang meyakinkan, langsung mengebom rumah itu atas nama “pencegahan bahaya”.

Bahkan ketika orang-orang di sekitar mengatakan senjata itu tidak ada, sang polisi tetap menekan tombol peluncur rudal.
MInilah logika geopolitik yang sedang dimainkan AS dan Israel.

Iran berkali-kali menyatakan bahwa program nuklirnya bertujuan damai, untuk energi dan riset medis, bahkan ditegaskan melalui kesepakatan JCPOA 2015.

Tapi semua itu dipatahkan hanya dengan satu klik narasi: “Iran berbahaya”. Dunia hidup dalam era Kebohongan 4.0, di mana fakta dikalahkan oleh algoritma dan propaganda.

Jika kebohongan bisa diviralkan cukup lama, maka ia akan menjadi dasar kebijakan.

Inilah era di mana truth is what is repeated, not what is verified.

Dan semua ini diperkuat oleh lobi yang sangat kuat.

Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah dengan senjata nuklir yang terkonfirmasi, namun tidak pernah dikenai sanksi. Mengapa?

Karena keberpihakan Washington padanya nyaris tanpa syarat.

Dari Capitol Hill hingga Gedung Putih, lobi pro-Israel menjangkau jantung kebijakan luar negeri AS.

Maka tak heran bila serangan ke Teheran lebih mencerminkan agenda Tel Aviv ketimbang urgensi objektif global.

Ekonomi Dunia: Menunggu Gelombang Tsunami dari Teluk Persia

Konflik bersenjata antara AS, Israel, dan Iran akan mengakibatkan lebih dari sekadar korban jiwa dan reruntuhan.

Dampak paling langsung adalah melonjaknya harga minyak dunia.

Iran adalah produsen minyak terbesar keempat OPEC dan penjaga jalur kritis: Selat Hormuz.

Sekitar 20% suplai minyak global melewati selat ini.

Satu ledakan saja, satu rudal nyasar, cukup untuk memicu disrupsi yang menelan triliunan dolar kerugian global.

Sejak kabar serangan udara dikonfirmasi, pasar berjangka minyak mentah melonjak tajam.

Dalam waktu singkat, harga minyak menyentuh 80 USD per barel dari sebelumnya menyentuh 78 USD/barel.

Diprediksi dalam 1 minggu ke depan bila ketegangan berlanjut bisa mencapai 110 USD/barel

Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus $150–170 per barel.

Efek domino dari ini sangat luas: inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan tentu saja, ancaman resesi.

Negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia akan sangat terpukul.

Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit: menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang akan memperlebar defisit anggaran.

Keduanya berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat.

Ini adalah pukulan telak bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi dan krisis pangan global.

Kawasan yang Mendidih: Timur Tengah dalam Spiral Kekacauan

Keterlibatan langsung AS dalam membombardir Iran akan memperluas lingkaran konflik.

Houthi di Yaman sudah memperingatkan akan menyerang kapal perang AS di Laut Merah.

Hizbullah di Lebanon diprediksi akan meningkatkan serangan ke utara Israel.

Milisi Syiah di Irak, Afghanistan, bahkan Suriah bisa bangkit dan melakukan serangan balasan.

Dengan kata lain, kita tidak lagi bicara tentang perang bilateral, tapi potensi perang regional penuh.

Timur Tengah bisa berubah menjadi ladang api tak terkendali.

Dan kita tahu, saat kawasan itu terbakar, dunia ikut panas.

Pasar modal global akan terguncang, investor akan mengalihkan dana ke aset aman seperti emas dan dolar AS, yang pada akhirnya menciptakan ketidakseimbangan baru di pasar global.

Tak hanya itu, gangguan terhadap pasokan logistik dari Terusan Suez hingga jalur pelayaran Asia-Timur Tengah-Afrika akan memperparah krisis rantai pasok global.

Situasi ini akan mengulang krisis keuangan 2007/2008 , tetapi dalam skala yang jauh lebih parah.

Harga pangan, pupuk, dan kebutuhan pokok akan meroket, memperparah krisis kelaparan di Afrika dan menambah tekanan sosial di negara-negara miskin.

*Indonesia Bisa Terperangkap dalam Tiga Krisis Sekaligus*

Bagi Indonesia, konsekuensi serangan ini tidak bisa dianggap enteng.

Negara kita akan terkena imbas dalam tiga level: fiskal, moneter, dan sosial.

Pertama, lonjakan harga energi akan membuat APBN tertekan. Subsidi BBM, listrik, dan LPG akan meningkat tajam.

Jika tidak diimbangi dengan penerimaan baru, defisit akan melebar.

Kedua, inflasi akibat kenaikan harga impor energi dan pangan akan menggerus nilai tukar rupiah.

Bank Indonesia kemungkinan akan dipaksa menaikkan suku bunga, memperlambat pertumbuhan dan memperberat dunia usaha.

Ketiga, tekanan sosial dari kenaikan harga kebutuhan pokok akan memicu keresahan publik.

Masyarakat kelas menengah ke bawah akan kembali menjadi korban dari konflik yang sama sekali bukan urusan mereka.

Indonesia tidak boleh pasif. Pemerintah harus segera merumuskan respons diplomatik dan kebijakan ekonomi yang antisipatif.

Ketergantungan pada minyak impor harus dikurangi, dan sumber energi alternatif harus digenjot.

Tapi yang terpenting, Indonesia harus bersuara di fora internasional untuk menghentikan eskalasi konflik ini.

Dunia Membutuhkan Kepemimpinan Baru yang Waras

Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar pertikaian militer, tapi pertarungan antara dua model kepemimpinan global.

Di satu sisi, agresi yang dibenarkan dengan kebohongan.

Di sisi lain, perlawanan untuk mempertahankan kedaulatan.

Jika dunia membiarkan AS dan Israel menggulingkan rezim mana pun yang mereka anggap “ancaman”, maka ke depan tak ada negara yang aman dari intervensi.

Inilah saatnya bagi dunia, terutama Global South, untuk menolak narasi kekuatan yang dibungkus dalam logika perang.

Dunia tidak butuh lebih banyak bom. Dunia butuh lebih banyak akal sehat.

Serangan udara ini mungkin dijual sebagai “momen heroik” oleh Trump di media sosialnya.

Tapi di mata sejarah, ini adalah momen destruktif yang bisa menyeret dunia ke dalam dekade ketidakstabilan.

Bila dunia tidak menghentikan arus ini sekarang, kita sedang melangkah ke zaman baru yang lebih gelap—di mana setiap perdamaian dibayar dengan perang, dan setiap kebenaran dikalahkan oleh propaganda.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri tiga tulisan tentang konsekuensi perang Israel-Iran. Tulisan selanjutnya akan membahas Respons alternatif dari negara-negara Non-Blok.