Jakarta- Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial atau bansos menuai kritik.

Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai rencana itu tidak tepat karena bertentangan dengan konstitusi dan undang‑undang kesejahteraan sosial. Selain itu, rencana vasektomi ini juga dinilai melanggar prinsip hak asasi manusia dan otonomi tubuh individu.

“Kewajiban melakukan vasektomi atau metode KB lain bagi laki-laki tidak selayaknya menjadi penghalang memperoleh bantuan sosial. Karena penerimaan bantuan sosial diatur sebagai hak mendasar warga negara yang diamanatkan konstitusi dan undang‑undang, bukan instrumen untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk,” ujar Achmad kepada KBR, Rabu (7/5/2025).

“Bantuan sosial seharusnya berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang sifatnya darurat dan bersifat pemberdayaan, bukan instrumen kontrol demografis,” tambahnya.

Achmad Nur Hidayat juga menjelaskan penerimaan bantuan sosial sebagai hak warga negara diatur dalam beberapa payung hukum strategis.

Pertama, Pasal 34 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagai wujud implementasi sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, UU 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menjabarkan kewajiban negara dan pemangku kepentingan untuk memberikan berbagai bentuk layanan sosial termasuk bantuan sosial kepada kelompok miskin, tidak mampu, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial.

Ketiga, UU 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin menegaskan bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menjadi acuan utama bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menyalurkan bantuan sosial, sehingga setiap penerima sudah melalui seleksi data yang objektif dan akurat.

“Dengan landasan ini, bantuan sosial bersifat universal untuk kelompok rentan, bukan program bersyarat yang mengintervensi hak reproduksi,” kata Achmad.

Kemiskinan Masalah Mendasar yang Belum Terselesaikan

Lebih lanjut, Achmad mengatakan meski grafik kemiskinan ekstrem di Indonesia cenderung menurun, kemiskinan struktural masih menjadi persoalan mendalam yang melibatkan akses terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi.

Dia bilang fenomena di banyak daerah menunjukkan masyarakat terjebak dalam lingkaran kemiskinan jangka panjang. Meski pendapatan mereka kadang berada di atas garis kemiskinan resmi, tetapi tetap sulit keluar dari kondisi rentan.

“Pemerintah sebaiknya memprioritaskan upaya penanggulangan kemiskinan struktural melalui kebijakan inklusif yang memutus siklus kemiskinan, serta meningkatkan akses dan kesempatan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, bantuan sosial akan kembali kepada tujuan aslinya yakni menjaga kesejahteraan dan martabat warga negara, tanpa syarat yang mengekang kebebasan pribadi,” ucap Achmad.

Penerima Bansos Diwajibkan Ikuti Program Vasektomi?

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana memperketat syarat penerima bantuan sosial di wilayahnya.

Salah satu syaratnya adalah dengan kewajiban untuk mengikuti program keluarga berencana (KB), khususnya bagi kaum laki-laki atau biasa disebut vasektomi.

Ia beralasan langkah ini bertujuan untuk menekan beban ekonomi keluarga miskin agar tidak semakin berat dengan bertambahnya jumlah anak.

“Warga masyarakat yang berpenghasilan rendah atau warga ekonomi ke bawah yang dikategorikan miskin itu saya selalu temui anaknya lebih dari tiga. Kalau terlalu banyak, yang saya perhatikan jangankan untuk sekolah, untuk biaya melahirkan saja tidak terbayar. Kemudian apa artinya bantuan tersebut, kalau jumlah anaknya bertambah terus kan, tidak bisa meningkatkan derajat ekonominya sehingga saya sampaikan agar Penerima bantuan Pemprov Jabar ini di-KB,”ucapnya di Balai Kota Depok, Selasa, (29/4/2025).

Dedi bahkan mengusulkan warga yang bersedia vasektomi akan diberi insentif Rp500 ribu. Ia juga menegaskan vasektomi bukan mematikan kejantanan, namun vasektomi berperan untuk menjaga keseimbangan perekonomian.

Kebijakan Vasektomi Jadi Pelanggaran HAM?

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro, menegaskan tidak boleh ada pemaksaan dalam program vasektomi.

Sebab menurutnya, vasektomi adalah bagian dari otoritas atas tubuh seseorang yang tidak bisa dipertukarkan dengan bantuan sosial (bansos).

“Itu juga menyangkut privasi ya, vasektomi atau apa pun yang dilakukan terhadap tubuh merupakan bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain ya. Penghukuman aja nggak boleh pidana dengan penghukuman badan yang seperti itu tuh sebetulnya bagian yang ditentang di dalam hak asasi. Apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial. Pemaksaan KB aja itu pelanggaran HAM,” ujar Atnike di kantor Komnas HAM, Jumat (2/5/2025).


Apa Sikap Pemerintah ?

Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan pihaknya tengah melakukan pengkajian terhadap rencana tersebut. Ia menyebut perlu kehati-hatian dalam mencanangkan ataupun menjalankan program Keluarga Berencana. Apalagi jika dikaitkan dengan prasyarat penyaluran bantuan sosial.

“Ya, ini kami sedang mempelajari ide itu ya. Jadi, semua ketentuannya sedang dipelajari,” katanya, Kamis (1/5/2025).

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menegaskan, tidak ada aturan yang mengatur vasektomi sebagai syarat mendapatkan bansos.

“Ya, tidak ada satupun yang boleh memaksakan vasektomi. Vasektomi bagian dari hak asasi manusia. Vasektomi itu kerelaan. Karena itu tidak ada aturan satu pun yang mensyaratkan penerima bansos harus vasektomi,” tutur Cak Imin di Bogor, Senin (5/5/2025).


Ada Alternatif Vasektomi?

Mengutip dari laman feb.ugm.ac.id, Ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), sekaligus Koordinator Bidang Kajian EQUITAS (Equitable Transformation for Alleviating Poverty and Inequality) Wisnu Setiadi Nugroho menilai ada beberapa alternatif kebijakan yang mungkin bisa dikaji ketimbang vasektomi.

“Ya, banyak sekali. Kita sebenarnya punya contoh sukses di masa Orde Baru, dengan mengaktifkan program keluarga berencana melalui BKKBN, dan itu cukup berhasil menekan angka pertumbuhan penduduk. Mungkin program itu bisa diaktifkan kembali. Selain itu, bisa juga dibuat program yang sifatnya sukarela,” tulisnya.

Wisnu turut mencontohkan kebijakan menekan angka pertumbuhan penduduk atau kelahiran dari negara lain.

“Misalnya di Amerika Serikat dan Inggris, ada aturan tentang tempat tinggal, di mana jumlah kamar harus sesuai dengan jumlah orang yang tinggal. Contohnya, jika hanya ada dua kamar, maksimal hanya boleh dihuni lima orang. Itu membuat orang berpikir ulang saat ingin menambah anggota keluarga. Jadi kebijakan seperti itu menurut saya lebih solutif dan tidak mengandung unsur pemaksaan,” tuturnya.

Kesan Memaksa dan Berpotensi Tidak Inklusif

Wisnu juga menilai ada sejumlah masalah jika kebijakan vasektomi dipaksakan. Terlebih, jika dilihat dari sisi perspektif kebijakan sosial dan ekonomi inklusif.

“Apabila dikaitkan dengan bansos akan muncul kesan pemaksaan. Narasi yang muncul bisa menjadi marjinalisasi dan diskriminasi terhadap keluarga yang tidak mampu. Meskipun niatnya membantu, tetapi bisa menimbulkan eksklusivitas. Yang terpaksa ikut adalah mereka yang membutuhkan bansos,” jelasnya.

“Akhirnya, kebijakan bansos yang harusnya inklusif malah jadi tidak inklusif, malah eksklusif dan itu sangat berbahaya untuk masa depan keluarga tersebut. Apabila mereka tidak mau ikut vasektomi akan tidak mendapatkan bansos. Jika mereka ikut, kita tidak tahu apakah ke depan mereka tetap tidak ingin punya anak lagi,” imbuhnya.

Wisnu juga mengaitkan kebijakan vasektomi dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan membandingkannya lewat kesukarelaan dalam program KB.

“Kalau kebijakan ini benar-benar diterapkan, dampaknya cukup terasa ke masyarakat miskin terasa diskriminatif. Secara prinsip, itu sangat diskriminatif. Karena otonomi tubuh seharusnya dimiliki oleh individu. Negara tidak seharusnya mengatur tubuh seseorang. Negara cukup membuat aturan dan kebijakan, tapi tidak perlu memaksa orang untuk ikut vasektomi. Prinsipnya kesukarelaan,” tegasnya.

Vasektomi Kebijakan Diskriminatif?

Sosiolog Universitas Indonesia (FISIP UI), Ida Ruwaida mendorong agar wacana vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial atau bansos dikaji secara mendalam dan komprehensif. Hal ini menjadi penting agar tidak menimbulkan permasalahan yang baru.

“Pra-syarat tersebut juga perlu menimbang hak warga negara, apalagi kebijakan penggunaan alkon (alat kontrasepsi) saat ini bersifat mandiri. Jika vasektomi disyaratkan pada penerima bansos, yang berlatar ekonomi lemah, maka ada isu bias kelas. Artinya kebijakan ini hanya ditujukan kepada kelompok yang kurang atau tidak sejahtera,” ucap Ida kepada KBR, Rabu (7/5/2025).

“Meski kita paham bahwa mengendalikan kelahiran pada keluarga miskin menjadi penting demi kesejahteraan keluarga, demi well-being keluarga, khususnya anak, mengingat keterbatasan sumber daya ekonomi khususnya. Meski bansos tidak secara signifikan mampu mendongkrak kesejahteraan mereka,” imbuhnya.

Ida Ruwaida menyebut adanya vasektomi, sebetulnya memberi ruang kepada laki-laki untuk ikut terlibat dan bertanggung jawab.

Namun, kata dia, keikutsertaan laki-laki masih sangat minim, karena secara sosial budaya seolah perempuan yang lebih dianggap bertanggung jawab mengontrol diri dan kesuburannya.

“Diskriminasinya justru di ranah ini. Jabar memang tergolong salah satu provinsi yang pernikahan anak masih tinggi, demikian pula perceraian, jumlah dan kepadatan penduduk tinggi, ada wilayah wilayah yang prosentase penduduk miskinnya mencapai 2 digit, sumber daya alam semakin terbatas. Sebab itu, diperlukan terobosan-terobosan kebijakan guna mengatasi masalah sosial-ekonomi yang demikian berakar. Kadang memang pendekatan demokratis tidak mudah dilakukan, namun juga tidak arogan, apalagi otoriter,” katanya.

Lebih lanjut, Ida juga mendorong Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk lebih bijak lagi dalam melakukan pola komunikasi kepada publik. Ini ia sampaikan merespon adanya kritikan publik yang menilai pola komunikasi Dedi cenderung arogan.

Ida juga mengingatkan Dedi Mulyadi untuk bisa memisahkan ‘bantuan pribadi’ dengan ‘bantuan institusional sebagai representasi Gubernur Jabar’.

“Sebaiknya bantuan bantuan lebih diinstitusionalkan, karena yang lewat di medsos, banyak kerancuan antara bantuan KDM sebagai pribadi atau ‘representasi Gub Jabar’,” imbuhnya.

Apa itu Vasektomi?

Melansir dari laman Halodoc, Vasektomi adalah prosedur sterilisasi pria yang bertujuan untuk mencegah kehamilan dengan memutus saluran sperma (vas deferens). Prosedur ini membuat sperma tidak dapat mencapai air mani saat ejakulasi, sehingga mencegah pembuahan.

Laki-laki yang menjalani vasektomi tetap bisa merasakan orgasme dan ejakulasi, namun tanpa mengandung sperma.

Data World Contraceptive Use menunjukkan bahwa prevalensi vasektomi di Indonesia tidak pernah melebihi 1% sejak tahun 1973 hingga 2018.

Data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga mengungkap bahwa hanya 0,2% pasangan yang memilih vasektomi.

Sumber: KBR