Sepanjang 2021-2025, Ombudsman RI menerima 426 aduan masyarakat terkait pelayanan publik di bidang ekonomi dengan potensi kerugian masyarakat mencapai Rp 1 triliun.
JAKARTA, Dalam beberapa tahun terakhir, Ombudsman RI paling banyak menangani kasus fraud perbankan yang berkaitan dengan kredit pemilikan rumah atau KPR. Di sisi lain, pemerintah memiliki agenda besar yang juga menyangkut KPR, yakni program pembangunan 3 juta rumah.
Kepala Keasistenan Utama III Ombudsman RI Yustus Yoseph Maturbongs menyampaikan, terdapat 14 jenis bentuk fraud perbankan berdasarkan penanganan laporan oleh Ombudsman RI di sektor keuangan. Dari 14 bentuk fraud itu, kasus yang paling banyak ditangani berkaitan dengan analisis kredit dan KPR.
Tiga juta rumah
Dihubungi terpisah, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, berpendapat, berbagai kasus fraud perbankan dalam kredit KPR tersebut berpengaruh terhadap program pembangunan 3 juta rumah.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/01/31/bd78944f-4f36-4070-b432-401d62b80680_png.png)
Berbagai malaadministrasi dan potensi penipuan yang terkuak lewat temuan Ombudsman RI mencerminkan minimnya pengendalian internal perbankan. Dengan kata lain, prosedur standar operasional sering kali tidak memadai untuk melindungi, baik nasabah maupun institusi.
”Keterlambatan penyerahan sertifikat rumah setelah KPR lunas, sengkarut agunan yang belum ditransfer dari pengembang, hingga sengketa asuransi jiwa yang menjerat warisan debitor, semua mencerminkan rendahnya kualitas tata kelola dan tingginya risiko reputasi yang mengintai bank,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Penguatan pengawasan internal menjadi mutlak. Unit kepatuhan dan anti-fraud wajib diperlengkapi dengan sertifikasi internasional serta menjalani audit berkala oleh auditor independen dan OJK untuk memastikan SOP di setiap lini operasional benar-benar dijalankan.
Lebih lanjut, kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan risiko kredit macet atau nonperforming loan (NPL) perbankan melonjak. Ini terjadi jika perbankan tidak dapat menjamin tata kelola pelaksanaan KPR, mulai dari penerbitan sertifikat, pengelolaan agunan, hingga klaim asuransi.
Selain itu, ketidakpastian hukum dan administrasi yang timbul turut menurunkan minat investor dan merusak citra program perumahan bersubsidi. Oleh sebab itu, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu segera menindaklanjuti temuan Ombudsman RI tersebut dengan perbaikan.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/06/30/2c192a3f-bad5-457c-8b56-e967647ff269_png.png)
Realisasi Penyaluran Dana FLPP Tahun 2024
Menurut Achmad, perbankan perlu menetapkan standar layanan sertifikat setelah pelunasan dan melaporkan progresnya secara transparan. Standar tersebut juga dapat diinisiasi dengan digitalisasi melalui sistem elektronik terpadu antara bank, pengembang, notaris, dan Badan Pertanahan Nasional, guna meminimalkan risiko kehilangan dokumen dan manipulasi data dapat diminimalkan.
”Penguatan pengawasan internal menjadi mutlak. Unit kepatuhan dan antifraud wajib diperlengkapi dengan sertifikasi internasional serta menjalani audit berkala oleh auditor independen dan OJK untuk memastikan SOP di setiap lini operasional benar-benar dijalankan,” ujarnya.
Di sisi lain, peningkatan literasi konsumen turut perlu dilakukan, baik oleh perbankan maupun lembaga terkait, seperti OJK dan Ombudsman RI. Pada akhirnya, penguatan tata kelola penyaluran KPR dapat meningkatkan kepercayaan publik sehingga program 3 juta rumah dapat dijalankan secara transparan dan akuntabel.
Sumber: KOMPAS