Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat meyakinkan pemerintah memiliki alasan kuat untuk mempertahankan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai alat pembayaran masyarakat.

Pendapat itu disampaikan Achmad setelah Amerika Serikat (AS) menilai QRIS sebagai salah satu hambatan perdagangan. Menurut Achmad, kritik dari AS adalah hal yang wajar dalam dinamika perdagangan global, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk mundur dari agenda nasional.

“Inisiatif ini harus diperkuat agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain utama dalam ekonomi digital global. Menyerahkan kontrol QRIS kepada pihak luar negeri adalah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan ekonomi dan keamanan data rakyat,” ujar Achmad kepada inilah.com, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

Dia membeberkan ada beberapa cara yang dapat dilakukan Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah dalam bernegosiasi soal QRIS dengan AS.

Pertama, BI bisa membuka ruang konsultasi terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip kebijakan. Misalnya, mengizinkan partisipasi asing dalam pengembangan teknologi QRIS dengan syarat transfer pengetahuan dan penggunaan server lokal.

Kedua pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjelaskan QRIS bukan hambatan, tetapi peluang kolaborasi.

“Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model bagi negara berkembang lain, sehingga perusahaan AS yang ingin ekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengannya,” ucapnya.

Ketiga, Indonesia bisa mengadopsi pendekatan interoperabilitas bertahap. Misalnya, memastikan QRIS kompatibel dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu, sebelum melangkah ke integrasi global.

“Langkah ini akan mengurangi kekhawatiran AS sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah internasional,” tegasnya

sumber: inilah.com