Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Pemerintah Indonesia, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, berencana melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp256,1 triliun.
Menteri Keuangan telah menetapkan bahwa efisiensi ini akan difokuskan pada 16 pos belanja kementerian/lembaga (K/L).
Namun, angka sebesar ini—sekitar 7,07% dari total belanja negara tahun 2025 yang mencapai Rp3.621,3 triliun—menimbulkan pertanyaan besar: apakah efisiensi ini realistis dan tidak akan berdampak negatif pada pelaksanaan program-program utama di K/L?
Efisiensi Besar, Dampak Besar
Jika efisiensi ini benar-benar terealisasi, maka ini akan menjadi salah satu penghematan terbesar dalam sejarah belanja negara. Namun, hal ini menimbulkan dugaan bahwa selama ini, terdapat anggaran yang tidak efisien dalam jumlah besar.
Ini mencerminkan lemahnya pengawasan baik oleh Kementerian Keuangan maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika Rp256,1 triliun dapat dipangkas tanpa mengganggu jalannya pemerintahan, maka ini menjadi indikasi bahwa perencanaan anggaran sebelumnya tidak dilakukan dengan baik.
Pada kenyataannya, pemangkasan anggaran sebesar ini berpotensi memukul program-program utama yang dijalankan oleh kementerian/lembaga.
Belanja untuk alat tulis kantor (ATK), kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan jasa konsultan mungkin dapat dikurangi, tetapi pengurangan di sektor seperti pemeliharaan infrastruktur atau diklat dan bimbingan teknis bisa berdampak negatif terhadap efektivitas birokrasi.
Efisiensi Harus Diikuti Realokasi
Jika pemerintah serius dalam efisiensi anggaran, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa dana yang dihemat dialokasikan ke program yang lebih produktif.
Tanpa realokasi yang baik, efisiensi ini justru bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kualitas layanan publik.
Misalnya, jika efisiensi hanya digunakan untuk membiayai program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau pembangunan tiga juta rumah tanpa perhitungan matang, kebijakan ini bisa menjadi kontra-produktif.
Kalangan kelas menengah dan bawah membutuhkan lebih dari sekadar bantuan langsung. Mereka membutuhkan stabilitas harga, ketersediaan pekerjaan, dan akses permodalan yang lebih fleksibel agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan.
Efisiensi yang diarahkan untuk program-program populis bisa diibaratkan seperti memberikan ikan tanpa kail.
Ketika bantuan habis, masyarakat kembali menghadapi masalah yang sama.
Sebaliknya, jika dana efisiensi digunakan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan, mengembangkan industri padat karya, dan menurunkan biaya permodalan, maka manfaatnya akan berkelanjutan dan dapat mengangkat kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.
Penyebab Inefisiensi Belanja Negara
Belanja negara yang tidak efisien disebabkan oleh berbagai faktor yang telah mengakar selama bertahun-tahun.
Salah satu faktor utama adalah perencanaan anggaran yang lemah, di mana banyak program kementerian/lembaga dibuat tanpa kajian mendalam sehingga sering kali mengarah pada belanja yang mubazir.
Selain itu, birokrasi yang berbelit-belit mengakibatkan anggaran lebih banyak terserap untuk administrasi daripada realisasi program yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Korupsi dan penyalahgunaan anggaran juga menjadi penyebab utama inefisiensi. Banyak kasus di mana proyek-proyek yang tidak memiliki urgensi tetap didanai karena adanya kepentingan tertentu, termasuk untuk kepentingan politik.
Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, program bantuan sosial (bansos) sering kali digelontorkan dalam jumlah besar menjelang pemilu, menciptakan ketergantungan masyarakat tanpa solusi jangka panjang.
Ketidaksesuaian antara target dan realisasi juga menjadi masalah kronis. Banyak proyek yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan, sehingga anggaran yang dialokasikan tidak memberikan manfaat yang optimal.
Pola belanja berulang yang tidak efektif juga terus terjadi, di mana kementerian/lembaga mengalokasikan anggaran pada pos yang sama dari tahun ke tahun tanpa evaluasi efektivitasnya.
Strategi Efisiensi yang Ideal
Agar efisiensi anggaran ini tidak sekadar pemangkasan angka, pemerintah perlu menerapkan strategi yang lebih matang diantaranya Evaluasi Pos Belanja Secara Mendalam.
Setiap kementerian/lembaga harus melakukan audit internal untuk mengidentifikasi pos belanja yang benar-benar dapat dikurangi tanpa menghambat kinerja.
Penguatan Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja juga harus dilakukan, setiap rupiah yang dikeluarkan harus berorientasi pada hasil yang konkret bukan sekedar formalitas atau hasilnya dinikmati oleh para pegawai ASN saja.
Digitalisasi dan Reformasi Birokrasi perlu dikedepankan. Penggunaan teknologi dapat mengurangi biaya administrasi dan meningkatkan transparansi.
Meningkatkan Peran BPK dan Kementerian Keuangan dalam Pengawasan. Pengawasan yang lebih ketat akan memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak merugikan layanan publik.
Memastikan Dana yang Dihemat Digunakan Secara Produktif. Dana hasil efisiensi harus dialokasikan ke program yang memiliki dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Risiko Pemangkasan Anggaran
Jika efisiensi ini tidak dilakukan dengan hati-hati, ada beberapa risiko yang bisa terjadi diantaranya adalah Pertama, Penurunan Kualitas Layanan Publik – Pemotongan anggaran yang terlalu besar dapat mengurangi efektivitas layanan di bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur;
Kedua, Kinerja Kementerian/Lembaga Terganggu – Anggaran yang terlalu ketat dapat menyebabkan proyek-proyek penting tertunda atau bahkan dihentikan;
Ketiga, Kontraksi Ekonomi – Jika efisiensi ini tidak diiringi dengan realokasi yang tepat, belanja negara yang berkurang bisa menekan pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Keempat, Dampak Sosial dan Politik – Pemangkasan yang tidak sesuai dapat memicu ketidakpuasan masyarakat, terutama jika program populis yang selama ini diandalkan mengalami kendala pendanaan.
Perbandingan dengan Negara Lain
Dibandingkan dengan negara-negara lain, efisiensi belanja negara Indonesia masih jauh dari optimal.
Negara-negara maju seperti Jerman dan Korea Selatan menerapkan sistem penganggaran berbasis kinerja yang lebih ketat, memastikan bahwa setiap belanja memiliki dampak nyata bagi masyarakat.
Sementara itu, negara-negara berkembang yang memiliki masalah serupa dengan Indonesia, seperti Brasil dan India, juga berupaya meningkatkan efisiensi dengan memangkas birokrasi dan meningkatkan transparansi anggaran.
Catatan Utama
Efisiensi anggaran sebesar Rp256,1 triliun merupakan langkah ambisius yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas belanja negara selama ini.
Jika efisiensi ini berhasil tanpa mengganggu kinerja kementerian/lembaga, maka ini menjadi indikasi bahwa selama ini terdapat kebocoran anggaran yang cukup besar.
Namun, jika efisiensi dilakukan tanpa realokasi yang tepat, maka dampaknya bisa merugikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah harus memastikan bahwa efisiensi ini tidak sekadar menjadi alat penghematan, tetapi juga langkah menuju reformasi anggaran yang lebih transparan dan efektif.
Jika dana hasil efisiensi digunakan untuk program yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat, maka kebijakan ini akan mendapat dukungan luas dari publik.
Sebaliknya, jika efisiensi ini hanya sekadar pemangkasan tanpa arah yang jelas, maka kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Sumber: strateginews.id