Jakarta (ANTARA) – Pemerintah dan DPR akhirnya membuka ruang negosiasi dalam pertimbangan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pengenaan tarif pajak ini direncanakan bakal bersifat selektif ke komoditas tertentu, yang utamanya menyasar kelompok barang mewah. Sementara kelompok barang dan jasa umum yang berhubungan dengan kebutuhan kelompok menengah bawah akan tetap bertahan dengan tarif lama.

Keputusan itu menjadi jalan tengah yang diambil Pemerintah setelah menerima banyak kritik mengenai rencana kenaikan PPN. Pun, keputusan itu tak terlepas dari reaksi pro-kontra di kalangan masyarakat.

Ada golongan yang sangsi lantaran Pemerintah tetap melanjutkan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu, di tengah gejolak ekonomi yang menunjukkan adanya kerentanan pada kemampuan belanja masyarakat.

Namun, ada pula golongan yang mengamini skema multitarif PPN menjadi negosiasi yang setidaknya bisa diterapkan dalam situasi ini.

Merumuskan regulasi perpajakan memang kompleks. Tak hanya kepentingan ekonomi, namun juga ada kepentingan politik dan sosial yang harus dipertimbangkan. Ketimpangan kelas turut menambah kompleksitas perumusan aturan perpajakan karena kebijakan perlu diupayakan agar bisa adil bagi tiap kelompok.

Oleh karena itu, penting untuk memahami urgensi dari berbagai sudut pandang agar bisa mewujudkan kebijakan pajak yang berkeadilan.

Kompleksitas beban pajak

PPN merupakan jenis pajak yang bersifat regresif lantaran tarifnya proporsional, atau sama rata untuk semua orang tanpa memandang tingkat pendapatan. Hal ini membuat beban pajak tersebut cenderung lebih berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang berpenghasilan tinggi.

Tinjauan yang dilakukan oleh Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan adanya kenaikan pengeluaran rumah tangga yang signifikan bila PPN diterapkan sama rata sebesar 12 persen. Bagi kelompok miskin, pengeluarannya bisa bertambah sekitar Rp100 ribu per bulan. Sementara bagi kelas menengah, pertambahan pengeluaran bisa mencapai Rp350 ribu per bulan.

Bila situasi itu tak diimbangi peningkatan pendapatan, kelompok miskin hingga menengah kemungkinan bakal makin kesulitan dalam mengakses kebutuhan non-pokok, seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, lantaran porsi pendapatan yang bisa dibelanjakan (disposable income) makin besar untuk kebutuhan pokok, kemampuan menabung hingga berinvestasi akan makin berkurang.

Situasi yang berlarut juga berpotensi memperlebar ketimpangan. Kelompok kelas atas tak terdampak banyak dari kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen, berbeda dengan kelompok kelas miskin hingga menengah. Menurut Celios, kondisi ini bisa memunculkan kecemburuan sosial akibat beban ekonomi yang dianggap tidak adil. Ketimpangan yang makin lebar juga bisa menghambat kelompok bawah untuk keluar dari kelas mereka dan memperbaiki taraf hidup.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat. Pun bila tarif PPN 12 persen hanya diterapkan kepada barang mewah, masyarakat kelas ekonomi bawah akan tetap terdampak.

Salah satu alasannya adalah kelas menengah bawah bisa jadi menggunakan barang mewah untuk kebutuhan pekerjaan mereka, gawai berkualitas tinggi, misalnya. Bila barang itu masuk dalam definisi barang mewah pada kebijakan PPN, kelas menengah berpotensi makin kesulitan mengakses barang yang bisa membantu meningkatkan taraf hidup mereka.

Selain soal kelas masyarakat, dampak kenaikan tarif PPN juga bisa merambat ke harapan bonus demografi Indonesia.

Celios mencatat pengenaan tarif pajak yang lebih berat bisa memengaruhi keputusan pernikahan. Lebih spesifik, hasil investigasi Harian Kompas tentang “Angka Pernikahan” menunjukkan kelompok muda cenderung menunda pernikahan hingga memutuskan untuk tidak memiliki anak (childfree), salah satunya karena alasan ekonomi.

Indonesia sering mengglorifikasi bonus demografi yang diyakini dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045. Padahal temuan Celios dan Harian Kompas menunjukkan adanya risiko depopulasi karena keengganan masyarakat untuk menikah dan memiliki anak, yang berarti regenerasi tenaga kerja bakal terhambat.

Berbagai situasi kompleks itu perlu dipahami sebagai pengingat bahwa kebijakan perpajakan tidak hanya berhenti pada dimensi ekonomi semata, namun berkelindan dengan dimensi sosial yang bersifat sistemik dan struktural.

Kompleksitas ini mengingatkan kembali pentingnya sosok yang mengisi jabatan menteri keuangan dalam tubuh pemerintahan. Pengingat lain adalah bahwa kebijakan perpajakan tidak bisa serta merta mengadopsi aturan di negara lain. Perlu adanya penyesuaian dengan kondisi lokal dalam menyerap kebijakan perpajakan.

Merumuskan kebijakan pajak

Terkait PPN, skema multitarif dengan pembagian tarif 12 persen untuk barang mewah dan 11 persen untuk barang umum bisa dibilang menjadi win-win solution dalam konteks jenis pajak ini.

Bila implementasinya berjalan sesuai desain yang dirancang, maka pertambahan pengeluaran bakal lebih banyak terjadi di kelompok atas. Sementara kelompok menengah bawah seharusnya terhindarkan dari beban pajak baru. Artinya, kekhawatiran tertekannya disposable income masyarakat kelompok menengah bawah akibat bertambahnya pengeluaran rumah tangga bisa dicegah.

Lebih jauh, Achmad mengusulkan pengenaan PPN terhadap barang mewah menggunakan tarif progresif sesuai nilai barang. Makin tinggi harga barang, makin besar tarif pajak yang dikenakan.

Konsep ini sudah diterapkan dalam pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2023, tarif PPnBM dimulai dari 10 persen hingga 200 persen, bergantung pada jenis objek pajak. Sebagai contoh, hunian mewah dikenakan tarif PPnBM sebesar 20 persen, sedangkan kapal pesiar, di luar kebutuhan negara atau umum, dikenakan tarif 75 persen.

Dengan pendekatan itu, kelompok atas berkontribusi lebih besar dalam porsi serapan pajak. Kemudian, penerimaan PPN dari barang mewah bisa lebih tinggi dibandingkan dengan tarif tunggal 12 persen.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa penerimaan pajak dari barang mewah secara umum memiliki andil yang relatif kecil pada penerimaan negara. Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sebelumnya menyoroti rata-rata kontribusi setoran PPnBM terhadap penerimaan negara pada periode 2013–2022 hanya berkisar 1,3 persen, yang sudah mencakup pajak dalam negeri dan impor.

Dengan demikian, asumsinya bahwa setoran dari PPN 12 persen terhadap barang mewah juga tidak berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.

Maka dari itu, dibutuhkan kebijakan lain yang diterapkan beriringan dengan kenaikan PPN agar kinerja penerimaan negara bisa ditingkatkan.

Dari sisi perpajakan, reformasi administrasi menjadi yang utama. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri telah menyoroti signifikansi langkah ini melalui artikelnya (Indrawati dkk., 2024).

Sama halnya, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyarankan pemanfaatan teknologi digital perlu dioptimalkan dalam administrasi perpajakan. OECD menyebut Kosta Rika sebagai salah satu contoh baik penerapan ini, di mana pemanfaatan surel (email) diperkirakan mendongkrak rasio pengumpulan pajak sebesar 3,4 poin persen.

Di sisi lain, Okunogbe dan Tourek (2024) menekankan intervensi berbasis penegakan hukum, penempatan petugas pajak, dan deteksi kebocoran adalah strategi yang efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak bagi negara berpendapatan rendah.

Presiden Prabowo Subianto pernah menyinggung soal kebocoran pajak di sektor sawit, yang nilainya ditaksir mencapai Rp300 triliun. Celios pun menyebut masih terjadi kebocoran pajak di kalangan perusahaan digital. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga tengah menelisik potensi pajak dari ekonomi bawah tanah atau underground economy.

Berbagai kebocoran itu, bila berhasil diserap, bisa menambah pendapatan negara yang lebih signifikan dibandingkan dengan kenaikan tarif PPN.

Selain dari sisi penerimaan, langkah lain yang bisa diambil untuk menjaga kesehatan kas negara adalah dengan mengefisiensikan belanja, sebagaimana yang juga ditekankan oleh Sri Mulyani dalam artikelnya. Sebagai rekomendasi, baik Celios maupun OECD menyoroti ruang penghematan belanja dari efisiensi proyek badan usaha milik negara (BUMN).

Soal kemampuan belanja masyarakat, Presiden Prabowo telah mengambil inisiatif menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun depan. Meski kebijakan ini juga tak terlepas dari risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat ketidakmampuan pengusaha mengakomodasi kenaikan upah, setidaknya beleid ini bisa membantu meningkatkan kemampuan belanja kelompok pekerja.

Bila kenaikan upah terimplementasi dengan ideal, diharapkan bisa membantu masyarakat menjaga taraf hidup mereka, terutama bagi kelompok muda, kenaikan upah diharapkan bisa memberikan optimisme terhadap perekonomian dalam jangka menengah-panjang.

Di samping itu, penerimaan baru dari kenaikan PPN juga perlu dipastikan tersalurkan kembali ke rakyat. Tak hanya dalam bentuk subsidi, tetapi juga dalam bentuk modal keterampilan agar masyarakat bisa mandiri secara ekonomi.

Modal itu dapat diberikan berupa beasiswa pendidikan atau fasilitas pelatihan. Harapannya, rakyat bisa lebih berdaya dan mampu membawa diri mereka naik ke kelas ekonomi yang lebih tinggi.

Dengan cara itu, negara tidak hanya hadir dalam bentuk dukungan yang membuat rakyat menjadi dependen, tetapi juga hadir dengan dukungan yang menciptakan kemandirian ekonomi.

Kembali lagi pada keputusan Pemerintah dan DPR menegosiasikan aturan PPN 12 persen, hal itu cukup menunjukkan nilai demokrasi negeri ini, bahwa kritik dan rekomendasi dari rakyat yang terus menggema bisa memengaruhi pertimbangan para pemangku kebijakan. Maka, usulan perlu terus disuarakan agar dapat mendorong Pemerintah menyusun regulasi yang bisa berkeadilan bagi berbagai lapisan masyarakat.

Sumber: antaranews.com