Bloomberg Technoz, Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia harusnya hanya berlaku pada produk akhir, alih-alih pada setiap rantai pasok atau supply chain.
Sebab, Aviliani mengatakan, konsumen justru akan lebih memilih untuk mengimpor barang dibanding terkena tarif PPN yang besar pada lini produksi.
“Harusnya produk akhir saja, kalau sekarang kan di semua lini kena. Jadi orang lebih baik impor saja, supaya tidak kena PPN yang besar,” ujar Aviliani kepada Bloomberg Technoz, dikutip Rabu (11/12/2024).
Sementara itu, terkait penerapan PPN dengan skema multitarif, di mana dikenakan tarif 12% hanya pada barang mewah, berpotensi memicu kenaikan barang-barang lainnya. Namun, Aviliani menggarisbawahi kelas menengah lebih dibebani dari sisi pendapatan dibandingkan penerapan PPN.
“Kalau harga berapa pun, tetapi tidak punya pendapatan berarti tidak punya konsumsi. Hal yang ditakutkan yang tadinya mampu jadi tidak mampu,” ujarnya.
Sekadar catatan, kebijakan kenaikan tarif PPN yang baru akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, telah memicu kenaikan ekspektasi inflasi dalam dua bulan beruntun. Harga barang-barang mulai merangkak naik, diduga sebagai antisipasi para penjual terhadap kebijakan tarif pajak baru, agar marjin keuntungan tetap bisa dipertahankan.
Mengacu pada hasil Survei Penjualan Eceran terbaru yang dilansir Bank Indonesia hari ini, tercatat ekspektasi inflasi pada Januari meningkat, melanjutkan kenaikan yang sudah berlangsung sejak bulan ini. Indeks Ekspektasi Harga Umum pada Desember berada di level 152,6, lebih tinggi ketimbang November.
Faktor pemicu menurut BI adalah lebih karena siklikal yakni kenaikan permintaan seiring kedatangan musim libur Nataru dan semester ganjil anak sekolah.
Namun, hasil survei juga mendapati ekspektasi inflasi makin meningkat pada Januari, terindikasi dari kenaikan Indeks Ekspektasi Harga Umum di level 157,8, lebih tinggi ketimbang Desember.
“Indeks Ekspektasi Harga yang naik pada Januari seiring dengan curah hujan yang tinggi,” jelas Bank Indonesia.
Menurut pandangan ekonom, membatasi kenaikan PPN 12% ke kelompok barang mewah, yang sampai saat ini belum jelas kategorisasinya, tetap akan berdampak pada inflasi harga-harga di luar kategori mewah tersebut. Ujung-ujungnya, daya beli masyarakat tetap terdampak.
“Meskipun tarif PPN yang lebih tinggi secara teori ditujukan untuk barang-barang yang dianggap tidak esensial, dalam praktiknya, dampak tersebut merambat ke hampir semua lapisan masyarakat,” kata Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat.
Achmad mencontohkan, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar saat ini menjadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar.
Jika harga barang naik akibat dampak rambatan kenaikan tarif PPN, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan kehidupan sehari-hari, memperpanjang kesenjangan digital.
Efek rambatan juga akan terjadi akibat kebijakan itu. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah bisa berdampak pula pada langkah efisiensi perusahaan otomotif dengan mengurangi tenaga kerja, misalnya. Apalagi ada kebijakan tambahan pajak alias opsen yang bisa mengerek harga mobil hingga potensial menekan penjualan.
Ketika penurunan penjualan akibat kenaikan pajak terjadi lantas memicu efisiensi, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa berlanjut. Kelompok masyarakat yang bekerja di sektor-sektor pendukung konsumsi barang mewah, bisa terdampak.
Sumber: bloombergtechnoz.com