*JAKARTA -* Pemerintah Indonesia kembali membuat publik terkejut dengan rencana pelaksanaan dua kebijakan ekonomi yang dinilai kontroversial, yakni program pengampunan pajak (tax amnesty) dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Kedua kebijakan ini dijadwalkan mulai diterapkan pada tahun 2025 dan telah menimbulkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat umum maupun para pengamat ekonomi.

Program tax amnesty jilid III dikabarkan telah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, menjadikannya salah satu agenda utama pemerintah di tahun mendatang.

Kebijakan ini bertujuan untuk menarik kembali dana-dana masyarakat Indonesia yang disembunyikan di luar negeri atau belum dilaporkan dalam sistem perpajakan nasional.

Sementara itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen direncanakan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025.

Kebijakan ini akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa konsumsi, yang kemungkinan besar akan membebani masyarakat luas, terutama kelompok berpenghasilan rendah hingga menengah.

Menanggapi langkah pemerintah tersebut, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyatakan bahwa kombinasi kebijakan ini menunjukkan arah fiskal yang kurang berpihak pada rakyat kecil.

Ia menilai, kebijakan tersebut justru mengesankan keberpihakan yang lebih besar kepada kelompok elit dan pengemplang pajak daripada kepada masyarakat umum yang selama ini sudah taat membayar pajak.

“Di satu sisi, masyarakat umum dibebani dengan kenaikan tarif pajak konsumsi melalui kenaikan PPN, yang jelas akan berdampak langsung pada harga barang kebutuhan sehari-hari. Namun, di sisi lain, para pengemplang pajak dan orang kaya diberikan kesempatan untuk melegalkan kekayaan mereka dengan tarif rendah melalui program tax amnesty. Ini menciptakan ketimpangan yang semakin tajam,” ujar Achmad.

Ia melanjutkan, kebijakan seperti ini memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah lebih peduli pada kepentingan kelompok elit dibandingkan menciptakan keadilan fiskal.

Menurutnya, program tax amnesty yang selama ini digadang-gadang sebagai solusi untuk memperluas basis pajak dalam jangka panjang, malah berpotensi memberikan insentif kepada para penghindar pajak untuk terus mengulangi perbuatan mereka dengan harapan akan ada program pengampunan pajak lagi di masa depan.

“Tax amnesty tidak hanya menciptakan preseden buruk, tetapi juga merugikan wajib pajak yang taat. Mereka merasa tidak ada keadilan dalam sistem perpajakan. Kebijakan ini seakan mendorong perilaku negatif, di mana penghindar pajak bisa terus mengelak dengan asumsi akan ada pengampunan berikutnya,” tegasnya.

Program tax amnesty sendiri sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.

Pada pelaksanaannya yang lalu, kebijakan ini telah menuai kritik tajam karena banyak pengemplang pajak yang memanfaatkannya tanpa memberikan kontribusi berkelanjutan terhadap sistem perpajakan.

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem fiskal nasional pun turut melemah. Dalam konteks ini, kombinasi kebijakan kenaikan tarif PPN dan tax amnesty jilid III dinilai berisiko memperparah ketidakpuasan masyarakat.

“Kombinasi kebijakan ini memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap stabilitas sosial dan ekonomi. Ketidakpuasan masyarakat, terutama dari kelompok yang paling terdampak seperti kelas menengah ke bawah, dapat memicu protes hingga mengganggu stabilitas politik nasional,” papar Achmad.

Ia juga mengingatkan bahwa sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang selama ini menjadi motor penggerak perekonomian nasional, kemungkinan besar akan menghadapi tekanan berat akibat kebijakan ini.

Dengan kenaikan tarif PPN, biaya operasional UKM dipastikan meningkat, sementara daya beli masyarakat cenderung melemah.

Hal ini akan menciptakan tantangan besar bagi sektor tersebut dalam mempertahankan kelangsungan usahanya.

Dalam jangka panjang, Achmad menegaskan bahwa kebijakan fiskal seperti ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Menurutnya, ketika masyarakat merasa bahwa kebijakan hanya menguntungkan segelintir kelompok elit dan orang kaya, sementara mayoritas penduduk harus menanggung beban yang lebih berat, legitimasi pemerintah akan dipertanyakan.

“Ketika rakyat melihat bahwa kebijakan fiskal hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang kaya, sementara mayoritas masyarakat menanggung beban yang tidak seimbang, kepercayaan terhadap pemerintah akan terkikis. Legitimasi pemerintah bisa dipertanyakan jika kebijakan ini tidak segera diimbangi dengan langkah-langkah konkret untuk melindungi kelompok rentan,” tuturnya.

Achmad juga menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang berdampak luas seperti ini.

Ia menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan pro-rakyat dalam kebijakan fiskal, agar tidak hanya memperluas basis pajak tetapi juga memastikan stabilitas sosial dan ekonomi tetap terjaga.

Sumber: nomorsatukaltim.disway.id