Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta
Pasar tiket pesawat di Indonesia telah lama menjadi perhatian publik. Sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat modern, terutama selama periode liburan seperti Natal dan Tahun Baru (Nataru) atau Lebaran, harga tiket pesawat sering kali melambung tinggi. Struktur pasar yang bersifat oligopoli, di mana hanya beberapa maskapai besar yang mendominasi, membuat kondisi ini semakin kompleks.
Baru-baru ini, pemerintah baru Prabowo berhasil menurunkan harga tiket pesawat hingga 10% selama periode liburan Nataru 2024/2025. Namun, langkah ini baru dilakukan di akhir tahun, sementara musim Lebaran sebelumnya, yang juga merupakan periode puncak perjalanan, tidak mendapatkan perlakuan serupa. Mengapa hal ini terjadi, dan bagaimana seharusnya pemerintah menangani pasar tiket pesawat di masa depan?
Dua grup besar, yaitu Lion Air Group dan Garuda Group, mendominasi hampir seluruh penerbangan domestik. Lion Air Group, yang mencakup Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air Jet, menguasai sekitar 62% pangsa pasar. Sementara itu, Garuda Group, dengan Garuda Indonesia dan Citilink, memiliki pangsa pasar sekitar 27%. Dominasi ini memberikan maskapai kekuatan besar dalam menentukan harga tiket.
Sebagai hasilnya, konsumen memiliki pilihan yang terbatas, terutama pada periode-periode puncak seperti liburan panjang. Maskapai cenderung memanfaatkan peningkatan permintaan untuk menaikkan harga tiket, sementara masyarakat tidak memiliki banyak alternatif. Hal ini diperburuk oleh keterbatasan kapasitas di bandara tertentu, yang semakin memperkuat posisi tawar maskapai besar.
Penurunan ini merupakan hasil dari berbagai langkah strategis, seperti pemotongan tarif jasa kebandarudaraan sebesar 50%, penurunan harga avtur sebesar 5,3%, dan pengurangan fuel surcharge untuk pesawat jet sebesar 8%.
Kombinasi langkah-langkah ini membuat harga tiket rata-rata turun hingga Rp157.500 per tiket, memberikan penghematan total sebesar Rp472,5 miliar bagi masyarakat selama liburan. Langkah ini menjadi bukti bahwa intervensi pemerintah yang terkoordinasi dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa langkah serupa tidak diterapkan pada musim Lebaran tahun yang sama, meskipun permintaan tiket pesawat juga sangat tinggi selama periode tersebut?
Ada beberapa alasan mengapa intervensi serupa tidak diterapkan pada musim Lebaran 2024. Salah satu alasan utama adalah adanya transisi pemerintahan pasca Pemilu 2024. Perubahan administrasi biasanya disertai dengan pergeseran prioritas dan waktu adaptasi bagi para pejabat baru. Akibatnya, intervensi kebijakan yang memerlukan koordinasi lintas sektor tidak dapat segera dilakukan.
Selain itu, kesiapan teknis untuk menerapkan kebijakan semacam ini juga menjadi faktor penting. Intervensi harga membutuhkan persiapan yang matang, termasuk koordinasi antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, operator bandara, dan maskapai. Jika waktu persiapannya tidak cukup, langkah-langkah tersebut sulit untuk diimplementasikan secara efektif.
Kondisi pasar selama Lebaran juga berbeda. Permintaan tiket biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan Nataru, sehingga maskapai memiliki insentif lebih besar untuk mempertahankan harga tinggi. Dalam situasi seperti ini, intervensi pemerintah menjadi semakin mendesak, tetapi juga lebih kompleks untuk diterapkan.
Untuk menciptakan pasar tiket pesawat yang lebih kompetitif dan mendekati persaingan sempurna, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah jangka panjang. Salah satu langkah penting adalah membuka akses pasar bagi pemain baru. Dengan adanya lebih banyak maskapai yang bersaing, konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan, dan harga tiket dapat menjadi lebih kompetitif.
Selain itu, pengawasan terhadap praktik anti-kolusi harus diperkuat. Dalam pasar oligopoli, ada risiko besar terjadinya kolusi harga antara pemain utama. Otoritas persaingan usaha, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), perlu lebih aktif dalam memantau dan mencegah praktik semacam ini.
Sumber: neraca.co.id