JAKARTA, DISWAY.ID – Keputusan Presiden RI Prabowo Subianto untuk menandatangani Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024, yang mengatur terkait Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2025 sebagai dasar pelaksanaan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2025 langsung menimbulkan kekhawatiran dari kalangan pengamat dan Ekonom.

Pengamat mempertanyakan di mana keberpihakan Pemerintah atas sturan PPM 12 persen dan Tax Amnesty di Perpres APBN 2025 tersebut.

Pasalnya, penerbitan Perpres tentang APBN 2025 ini tidak hanya menimbulkan kontroversi terkait konsentrasi kekuasaan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tetapi juga sinyal kebijakan fiskal yang cenderung memberatkan masyarakat luas.

Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, salah satu isu yang menjadi sorotan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Achmad juga menyempaikan PPN 12 persen ini disebut-sebut akan diikuti oleh program pengampunan pajak atau Tax Amnesty.

“Kombinasi kebijakan ini menunjukkan arah fiskal yang tidak pro-rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah, dan menguatkan persepsi bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo lebih mengutamakan kepentingan para pengemplang pajak dan orang kaya,” ujar Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Kamis 5 Desember 2024.

Selain itu, Achmad juga menilai bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan PPN dan diikuti oleh program Tax Amnesty mencerminkan ironi dalam kebijakan fiskal.

Menurutnya, kebijakan ini memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah lebih peduli terhadap kepentingan kelompok elit daripada meningkatkan keadilan fiskal.

“Program Tax Amnesty sebelumnya telah menimbulkan kontroversi, terutama karena banyak pengemplang pajak yang memanfaatkan kesempatan ini tanpa memberikan kontribusi yang berkelanjutan terhadap sistem perpajakan,” tutur Achmad.

Menurut Achmad, program Tax Amnesty yang dirancang untuk meningkatkan basis pajak dalam jangka panjang justru cenderung memberikan insentif kepada wajib pajak nakal untuk terus menghindari pajak dengan harapan akan ada amnesti berikutnya.

Dalam konteks ini, kebijakan tax amnesty yang diiringi kenaikan PPN menjadi gambaran nyata bahwa pemerintah lebih memprioritaskan pengumpulan dana secara cepat daripada melindungi daya beli masyarakat.

“Hal ini juga menunjukkan kegagalan dalam membangun sistem perpajakan yang adil dan efektif,” pungkas Achmad.

Sumber: disway.id