Pernyataan Komisaris Utama (Komut) PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex/SRIL), Iwan Setiawan Lukminto yang menuding Permendag 8 Tahun 2024 sebagai biang kerok bangkrutnya perusahaannya, terkesan mau cuci tangan. Karena, keuangan Sritex sudah terseok-seok sejak 2021.
Seperti disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli yang tak percaya bahwa ambruknya Sritex dipantik Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Rasa-rasanya tak masuk akal, perusahaan tekstil sebesar Sritex bisa ambruk cepat gara-gara beleid yang baru diberlakukan pada 17 Mei 2024.
Menteri Yassierli lebih percaya, terpuruknya Sritex karena ada faktor salah kelola di manajemen. Terkesan abai atau tepatnya lalai memitigasi risiko utang yang terus menggunung. Sehingga Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri (PN) Semarang memutus pailit Sritex.
Di mana, gugatan pailit ini diajukan PT Indo Bharat Rayon (IBR) yang diutangi Sritex sebesar Rp101,30 miliar. Angka itu kecil dibanding total utang Sritex yang mencapai US$1,6 miliar atau setara Rp25 triliun (kurs Rp15.600/US$).
“Kalau soal Sritex, saya membacanya ini kelalaian manajemen dalam memitigasi risiko (utang). Jadi lengah, seolah-olah masalah kecil tapi kemudian berdampak fatal. Ada kreditur yang cuma Rp100 miliar, mengalahkan total kreditur yang sekian triliun,” kata Yassierli di Jakarta, dikutip Jumat (1/11/2024).
Dia mengingatkan setiap perusahaan untuk memiliki sistem manajemen risiko yang kuat. Sementara dari sisi pemerintah punya mekanisme untuk monitoring.
“Walaupun tentu kita juga harus tetap hati-hati. Hanya kami berharap setiap perusahaan itu memiliki sistem manajemen risiko, enterprise, risk manajemennya itu yang kuat. Dan kami kementerian dibantu dengan Dinas Tenaga Kerja, itu juga kita punya mekanisme untuk melakukan monitoring,” bebernya.
Rasa-rasanya Yassierli benar. Sangat aneh jika perusahaan tekstil sebesar Sritex yang memperluas pabriknya pada 2017 senilai Rp2,7 triliun, tumbang hanya karena Permendag 8/2024 yang baru berlaku dalam hitungan bulan.
Sebelumnya, Komut Sritex, Iwan S Lukminto tegas menuding Permendag 8/2024 sebagai biang kerok hancurnya industri tekstil dalam negeri, termasuk Sritex.
“Jadi begini kalau Permendag 8 itu kan masalah klasik yang sudah tau ya, semuanya. Liat aja pelaku industri tekstil ini banyak yang kena, banyak yang terdisrupsi yang terlalu dalam, sampai ada yang tutup ya,” ungkap Iwan di Kantor Kemenperin Jakarta, Senin (28/10/2024).
Dia bilang, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka perlu mengevaluasi aturan ini. “Nah ini jadi sangat-sangat signifikan di situ sangat signifikan gitu. Tapi itu semuanya ke kementerian ya semua regulasi ada di kementrian,” imbuhnya.
Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, runtuhnya Sritex lebih disebabkan kompleksitas tantangan industri tekstil yang sudah lama terjadi. Jadi bukan semata-mata penerapan Permendag 8/2024.
Di mana, Permendag 8/2024 merupakan revisi dari Permendag 36/2023, bertujuan mengendalikan impor produk tekstil agar dapat melindungi industri lokal dari produk asing yang membanjiri pasar domestik.
Beleid ini baru berlaku pada 17 Mei 2024, sedangkan kondisi finansial Sritex sudah bergejolak sejak 2021.
Asal tahu saja, Sritex benar-benar babak belur disandera utang yang menggunung hingga US$1,6 miliar atau Rp25 triliun. Terdiri dari utang jangka pendek US$131,42 juta, dan jangka panjang US$1,47 miliar. Utang Sritex berasal dari kredit bank dan obligasi.
Perusahaan yang didirikan HM Lukminto atau Le Djie Shien pada 1966 itu, boleh dibilang ugal-ugalan alias serampangan dalam berutang. Simak saja nilai asetnya jauh di bawah total utang perusahaan.
Tepatnya, nilai aset Sritex hanya US$653,51 juta atau Rp10,12 triliun. Kurang dari separuh nilai utang perusahaan. Inilah 28 bank yang menggelontorkan utang gede untuk Sritex, serta nilainya:
1. PT Bank Central Asia Tbk US$82 juta
2. State Bank of India, Singapore Branch US$43 juta
3. PT Bank QNB Indonesia Tbk US$37 juta
4. Citibank N.A., Indonesia US$36 juta
5. PT Bank Mizuho Indonesia US$34 juta
6. PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk US$33 juta
7. PT Bank Muamalat Indonesia US$25 juta
8. PT Bank CIMB Niaga Tbk US$25 juta
9. PT Bank Maybank Indonesia Tbk US$25 juta
10. PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah US$ 24 juta
11. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk US$24 juta
12. MUFG Bank Ltd US$24 juta
13. Bank of China (Hong Kong) Limited US$22 juta
14. PT Bank KEB Hana Indonesia US$22 juta
15. Taipei Fubon Commercial Bank Co, Ltd US$20 juta
Sumber: inilah.com