IURAN BPJS Kesehatan diwacanakan naik untuk menutup potensi defisit yang mengancam program Jaminan Kesehatan Nasional. Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menuturkan bahwa menaikkan iuran BPJS Kesehatan bukanlah solusi ideal.
“Ini menjadi beban tambahan bagi masyarakat, terutama golongan menengah dan bawah. Oleh karena itu, langkah-langkah yang lebih cerdas dan out of the box perlu diambil untuk mencegah skenario gagal bayar tanpa membebani peserta BPJS secara langsung,” ungkapnya, kemarin.
Beberapa opsi yang dapat dilakukan di antaranya optimalisasi dana investasi, bahwa BPJS Kesehatan memiliki dana cadangan yang diinvestasikan dalam instrumen keuangan tertentu. Optimalisasi investasi di sektor yang lebih menguntungkan, tetapi tetap aman, dapat meningkatkan pendapatan tambahan.
Selanjutnya ialah kolaborasi dengan industri farmasi. Dalam hal ini BPJS Kesehatan dapat bernegosiasi dengan produsen obat-obatan demi mendapatkan harga yang lebih rendah untuk obat-obatan penyakit katastropik. Kolaborasi ini akan menurunkan biaya pengeluaran untuk obat-obatan mahal yang dikonsumsi oleh pasien dengan penyakit berat.
“Dapat dilakukan juga peningkatan efisiensi operasional. BPJS Kesehatan harus melakukan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi pemborosan dan ketidakefisienan dalam operasional sehari-hari. Optimalisasi penggunaan sumber daya dan pemotongan biaya yang tidak perlu dapat membantu mengurangi pengeluaran tanpa mengorbankan kualitas layanan,” kata dia.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyatakan bahwa penaikan iuran merupakan hal yang sah saja dilakukan. Hal itu pun telah diatur dalam regulasi.
Namun, Edy mengingatkan bahwa penaikan iuran mesti dilakukan dengan hati-hati. “Sebelum penaikan iuran, pastikan beberapa hal harus dilakukan,” kata Edy dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR dengan Dewan Pengawas dan Direktur Utama BPJS Kesehatan, kemarin.
Tangani fraud
Pertama, misalnya fakta bahwa rupanya 35% peserta penerima upah (PPU) dalam BPJS Kesehatan merupakan penerima bantuan iuran (PBI). Hal itu, kata Edy, jelas merupakan fraud. Pasalnya, semestinya PPU ialah perusahaan membayar 4% dan peserta 1%. Menurut dia, hal tersebut jelas berpotensi meningkatkan pemasukan dan mengurangi jumlah potensi kerugian BPJS Kesehatan Rp20 triliun.
“Jadi kalau PPU dioptimalkan, misalnya ada 56 juta peserta PPU, dikurangi dengan ASN dan Polri 6 juta, dan rata-rata pendapatan PPU itu Rp3 juta, potensi PPU itu sebesar Rp90 triliun. Itu tiga kali lipat pendapatan PPU sekarang yang hanya Rp30 triliun. Jadi ada celah menaikkan pendapatan dari sektor PPU,” jelas Edy.
Selain itu, ia juga meminta BPJS Kesehatan secara serius menangani fraud, baik pada rumah sakit maupun di lapangan. “Kalau mau dicari, itu datanya terang benderang. Masalahnya pemerintah mau enggak menangani agar masalah ini bisa selesai dan menjadi pemasukan tambahan bagi BPJS Kesehatan,” imbuh dia.
Edy pun meminta BPJS Kesehatan mengintervensi tunggakan dari 14 juta peserta yang masih ada saat ini. Jika peserta itu betul-betul miskin, bisa dihapus. Apabila peserta itu masih mampu, BPJS bisa memberikan diskon. “Sehingga sebelum penaikan iuran, ada perlakuan khusus bagi 14 juta ini yang kesulitan membayar iuran JKN,” pungkas Edy.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan bahwa aset neto BPJS Kesehatan masih sehat, meski ada risiko defisit. Ia memastikan pihaknya lancar dalam membayar rumah sakit pada 2025. Berdasarkan Perpres 59 disebutkan bahwa per 2 tahun penaikan iuran dibolehkan, tapi perlu dievaluasi terlebih dahulu.
Sumber: epaper.mediaindonesia.com