Bloomberg Technoz, Jakarta – Siklus kontraksi kinerja manufaktur Indonesia yang tidak kunjung terputuskan hingga Oktober 2024 dinilai sebagai alarm bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto harus segera melakukan reformasi kebijakan-kebijakan yang dianggap melemahkan industri dalam 1 dekade terakhir.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, guna mencegah kontraksi manufaktur lebih lanjut, tim ekonomi di pemerintahan Prabowo harus merefleksikan kebijakan-kebijakan yang telah dijalankan selama pemerintahan sebelumnya.
“Dalam 10 tahun terakhir, kebijakan ekonomi yang tidak fokus pada penguatan industri domestik telah menyebabkan industri manufaktur Indonesia mengalami tekanan berat, baik dari sisi biaya operasional, daya saing, maupun penetrasi pasar,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (1/11/2024).
Untuk itu, Achmad pun merekomendasikan empat strategi yang dapat ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kinerja manufaktur nasional dalam jangka panjang.
Aktivitas pekerja di pabrik Frisian Flag Indonesia (FFI) di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
4 Transformasi
Pertama, reformasi struktur biaya dan efisiensi rantai pasok. Dalam hal ini, Achmad menilai tim ekonomi Prabowo harus segera memperbaiki struktur biaya produksi dengan menurunkan beban biaya energi, bahan baku, dan transportasi.
“Kebijakan yang mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku akan sangat membantu industri lokal agar tidak mudah terdampak fluktuasi harga global,” terangnya.
Kedua, insentif pajak dan dukungan fiskal. Menurutnya, insentif pajak—seperti pengurangan pajak penghasilan untuk sektor padat karya dan manufaktur berteknologi tinggi — akan menjadi langkah yang strategis untuk merangsang investasi dan meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri.
Adapun, subsidi atau bantuan fiskal untuk industri-industri strategis juga dapat membantu sektor manufaktur tetap kompetitif.
Ketiga, penguatan pasar domestik melalui program tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Dia menilai kebijakan yang mendorong TKDN pada proyek-proyek pemerintah bisa menciptakan permintaan yang stabil untuk produk manufaktur dalam negeri, mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor, dan meningkatkan penyerapan produk lokal.
Keempat, pengendalian impor dan proteksi industri lokal. Langkah proteksi seperti pengendalian impor untuk barang-barang yang bisa diproduksi dalam negeri perlu diterapkan, terutama pada barang-barang konsumsi yang mengancam industri domestik.
“Proteksi ini bertujuan untuk mendorong industri lokal tumbuh dan berkembang tanpa terganggu oleh persaingan yang tidak seimbang,” terang Achmad.
Lebih lanjut, Achmad menegaskan pemerintah yang sekarang harus berani mengambil pelajaran dari kebijakan yang diterapkan pada periode pemerintahan sebelumnya, guna mengambil pendekatan kebijakan yang lebih mendukung pertumbuhan manufaktur.
“Bila tim ekonomi malah berpendapat bahwa tindakan mereka sebelumnya tidak menjadi penyebab turunnya sektor manufaktur Indonesia, saya kira kita tidak akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi. Jangankan memperbaiki sektor manufaktur, tujuan pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung Presiden Prabowo hanya akan menjadi mimpi belaka. Presiden Prabowo seharusnya menyadari hal ini sejak awal,” ujarnya.
PMI Manufaktur Indonesia (Sumber: S&P Global)
Kontraksi 4 Bulan
Untuk diketahui, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi selama 4 bulan beruntun, tecermin dari data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dilansir S&P Global hari ini.
Menurut laporan S&P, PMI manufaktur di Tanah Air berada di 49,2 untuk periode Oktober, stagnan dari bulan sebelumnya. PMI di bawah 50 mencerminkan aktivitas yang berada di zona kontraksi, tidak ekspansi. Dengan demikian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona itu sejak Juli dan belum mampu bangkit.
“Produksi, pemesanan baru, dan perekrutan tenaga kerja melemah tipis seiring dengan pasar yang melemah. Keyakinan terhadap prospek ke depan, walau secara umum masih positif, tetapi turun ke level terendah dalam 4 bulan terakhir,” papar laporan S&P Global.
Daya beli konsumen, lanjut laporan S&P Global, dilaporkan menurun oleh dunia usaha, Ini terjadi baik di pasar domestik maupun ekspor. Pasar ekspor juga menurun dan mengalami koreksi selama 8 bulan beruntun.
Penurunan iklim usaha membuat perusahaan-perusahaan memangkas pegawai di pabrik mereka, dan menjadi yang ketiga selama 4 bulan terakhir. Beban kerja masih sama, dan malah terjadi penumpukan barang jadi karena lesunya permintaan. Ini sudah terjadi selama 4 bulan beruntun.
Pembelian bahan baku pun kembali menurun, menjadi 4 bulan beruntun. Ini selaras dengan tren penurunan pemesanan baru dan produksi seiring permintaan yang lemah.
Dunia usaha memandang situasi ke depan masih positif, dengan harapan situasi pasar akan kembali stabil. Namun, keyakinan ini turun ke level terendah dalam 4 bulan dan lebih rendah dari tingkat historisnya.
“Sektor manufaktur Indonesia melanjutkan performa yang menurun pada Oktober, dengan produksi, pemesanan baru, dan penciptaan lapangan kerja yang berkurang. Responden menyebut dalam beberapa kasus ini terkait dengan ketidakpastian geopolitik.
“Sebagai cerminan dari pasar yang melambat, inflasi pun melambat dan sekarang di bawah level historisnya. Dunia usaha berharap kondisi akan membaik pada tahun depan seiring dengan lingkungan ekonomi yang lebih stabil,” papar Paul Smith, Economics Director di S&P Global Market Intelligence, dalam siaran pers.
Sumber: bloombergtechnoz.com