FAKTA.COM, Jakarta – Sejumlah ekonom memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan melebar hingga tahun depan. Meskipun, defisit transaksi berjalan Indonesia di Kuartal III 2024 menipis.

Apa saja hal-hal yang menjadi penyebabnya?

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan, defisit transaksi berjalan akan melebar hingga akhir tahun mencapai 0,78% terhadap PDB.

“Untuk keseluruhan tahun 2024, kami memperkirakan peningkatan moderat pada CAD (Current Account Deficit), naik dari 0,16% terhadap PDB pada tahun 2023 menjadi 0,78% PDB,” kata Josua kepada Fakta.com, baru-baru ini.

Josua bilang, tren tersebut akan terus berlanjut pada 2025, bahkan defisitnya diperkirakan mencapai angka 1,22% terhadap PDB. Faktor kunci pelebaran defisit tersebut adalah perubahan kebijakan Amerika Serikat, setelah Donald Trump meraih kemenangan Pilpres 2024.

“Pemilihan Presiden AS meningkatkan risiko Perang Dagang 2.0, karena kebijakan ekonominya yang inward looking,” jelas Josua.

Padahal, berdasarkan rilis Bank Indonesia, Kamis (21/11/2024), defisit transaksi berjalan Indonesia triwulan III 2024 sebesar US$2,2 miliar atau menipis menjadi 0,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, angka tersebut lebih rendah dari defisit pada triwulan sebelumnya, yakni US $3,02 miliar atau 0,9% terhadap PDB.

“Kinerja neraca transaksi berjalan ditopang oleh surplus neraca perdagangan barang nonmigas yang berlanjut,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso.

Kekhawatiran akan melebarnya kembali defisit transaksi berjalan juga disampaikan oleh Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat.

Menurutnya, kendati data neraca perdagangan terakhir mencatatkan angka surplus, kondisi berbeda terjadi pada neraca jasa dan migas.

Kedua neraca tersebut masih konsisten mencatatkan defisit sehingga berpotensi menekan kinerja transaksi berjalan Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan data Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa sektor jasa pada neraca transaksi berjalan mengalami defisit dalam beberapa waktu terakhir.

Meskipun, data terbaru hingga triwulan III tahun ini, angkanya membaik, tetapi hal tersebut tidak menutupi fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir, angkanya selalu defisit.

Begitu juga dengan defisit neraca migas yang disebut Achmad sebagai implikasi dari ketergantungan impor bahan bakar.

Terlebih, peningkatan eskalasi ketegangan geopolitik berimplikasi kepada volatilitas harga minyak dunia.

“Ketergantungan pada impor minyak yang terus meningkat menjadi beban berat. Indonesia yang sebelumnya menjadi eksportir minyak kini harus mengalokasikan sebagian besar devisa untuk memenuhi kebutuhan energi domestik,” ucap Achmad.

Untuk mengantisipasi risiko tersebut, Achmad mengatakan pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengelola dengan hati-hati arus modal yang keluar. Hal ini demi menjaga stabilitas nilai tukar dan memperkuat cadangan devisa.

Di samping itu, perlu diberikan insentif lebih untuk sektor EBT. Sehingga, ketergantungan impor bahan bakar fosil yang menjadi salah satu kontributor utama defisit transaksi berjalan dapat ditekan.

Achmad juga bilang, defisit neraca perdagangan bukan sekadar indikator ekonomi saja. Melainkan juga menggambarkan kondisi fundamental perekonomian di suatu negara.

“Kegagalan dalam mengelola defisit ini dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang sulit dipulihkan, terutama dalam menghadapi tantangan global yang tidak terduga,” pungkas Achmad.

Sumber: fakta.com