FAKTA.COM, Jakarta – Indonesia tertinggal oleh sejumlah negara di Asia Tenggara soal perdagangan berkelanjutan. Fakta tersebut termuat dalam rilis Indeks Perdagangan Berkelanjutan oleh Penelitian Hinrich-IMD STI 2024, Selasa (22/10/2024).

Dalam penelitian itu, Indonesia memiliki nilai jeblok pada beberapa aspek, termasuk penyaluran kredit ke sektor swasta.

Indonesia dengan skor 45,3 menempati peringkat ke-18 dari 30 negara yang masuk ke dalam penelitian tersebut. Sementara itu, lima negara Asia Tenggara lain berada di atas Indonesia, seperti Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam.

Adapun survei ini memiliki tiga aspek penilaian, yakni Ekonomi, Lingkungan, dan Sosial. Dalam aspek ekonomi, hal yang dinilai adalah seberapa efektif strategi suatu negara bisa untuk memanfaatkan kesempatan perdagangan global.

Untuk menilai hal tersebut, tiga proksi yang digunakan adalah inovasi teknologi (5,27), ekspor barang dan jasa (7,02), dan kredit domestik untuk sektor swasta (10,19).

Tidak heran jika Indonesia punya skor yang jeblok dalam aspek ekonomi, terutama pada penyaluran kredit untuk sektor swasta. Pasalnya, rasio penyaluran kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih stagnan di kisaran 36% dalam sepuluh tahun terakhir.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkap faktor utama penyebabnya. Menurutnya, rendahnya rasio kredit Indonesia disebabkan oleh perbankan yang belum banyak menyasar sektor informal.

“Padahal kalau kita mau jujur penduduk kita ini 51% adalah pekerja informal,” kata Achmad kepada Fakta.com, Kamis (24/10/2024).

Achmad kembali mempertegas bahwa kebanyakan sektor informal tidak bisa mengakses pembiayaan dari perbankan. Dalam hal ini, Achmad mengatakan perlu formalisasi sektor informal agar mereka mudah mendapatkan akses pembiayaan kredit dari perbankan.

“Anda bisa lihat berapa pinjol ya size-nya orang yang mengajukan kredit di situ kemudian jumlahnya, ini kan luar biasa itu menunjukkan sebetulnya pemerintah belum begitu peduli ya sama sektor informal, termasuk perbankan kita.” ujar Achmad.

Sebelumnya, spesifik pada kredit sektor properti, Ekonom Senior, Aviliani pernah mengungkap hal serupa. Menurutnya, perlu ada relaksasi aturan untuk mengakses pembiayaan kredit, khususnya properti.

“Jadi nanti perlu diatur bahwa orang yang memiliki penghasilan tapi tidak tetap pun bisa melakukan cicilan. Saya rasa itu penting karena itu yang akan banyak nanti market yang belum punya rumah,” kata Aviliani dalam sebuah diskusi, Selasa (22/10/2024).

Menurutnya, banyak masyarakat, terutama Gen Z yang tidak bisa mengakses kredit rumah, terutama karena syarat untuk mengajukan cicilan yang rigid, yakni soal harus memiliki pendapatan tetap.

Ide soal relaksasi aturan perbankan ini kembali dipertegas oleh Achmad, mengingat struktur ekonomi kita yang didominasi oleh sektor informal.

“Kalau kita mau sebetulnya kita bisa merelaksasi aturan perbankan, mungkin kita bisa merevisi beberapa aturan-aturan atau kita memperluas database kita sehingga orang tidak lagi harus misalkan mempunyai pekerjaan tetap, penghasilan tetap, jaminan dan sebagainya (untuk akses kredit),” pungkas Achmad.

Sumber: fakta.com