FAKTA.COM, Jakarta – International Monetary Fund (IMF) punya pandangan berbeda atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam rilis World Economic Outlook terbarunya bulan ini, IMF hanya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kisaran 5%-5,1% sampai dengan lima tahun ke depan.
Angka ini tidak berbeda jauh dengan rata-rata ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, Indonesia ingin mengakselerasi pertumbuhan ekonominya hingga mencapai 8% di bawah nahkoda Presiden Prabowo Subianto.
Menanggapi hal ini, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat berpendapat, mengingat banyak menteri lama di bidang ekonomi yang diboyong kembali, jika tidak ada perubahan signifikan dalam arah kebijakan ekonomi, maka proyeksi tersebut benar.
“Bisa jadi kalau dengan gaya yang lama, program yang lama, orang yang lama, bahkan pertumbuhan kita bisa dibawah prediksi 5,1% itu,” katanya kepada Fakta.com, Kamis (24/10/2024).
Di samping itu, Achmad menilai saat ini salah satu persoalan yang terjadi adalah tidak ada harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal.
“Mungkin dari sisi moneter sudah terjadi relaksasi tetapi transmisi ke sektor realnya itu masih sangat lambat,” ujarnya
Achmad merasa heran soal ekspansi kebijakan fiskal yang tidak terlihat. Pasalnya, negara cenderung menaikkan pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di samping itu, pemerintah tidak menahan kenaikan administrated price.
“Administered price itu kan ada biaya pendidikan, ada biaya PLN, termasuk tol, listrik, dan sebagainya itu semua masih mengalami tren kenaikan,” katanya menjelaskan.
Achmad juga bilang, di tengah kelesuan daya beli seperti saat ini, apabila pertumbuhan ekonomi ingin diakselerasi hingga mencapai 8%, maka dibutuhkan easing monetary dan fiscal policy.
Dihubungi terpisah, Peneliti Celios, Achmad Hanif Imaduddin mengungkap salah satu hal yang mungkin menjadi pertimbangan dari proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh IMF tersebut adalah regulasi di Indonesia yang dinilai kurang efisien.
Menurutnya, hal ini bisa berimplikasi kepada terhambatnya investasi asing atau kelancaran bisnis.
“Begitu pula dalam hal institusi penyusun regulasi dan pengawasan yang masih lemah dan cenderung terkena moral hazard,” ucap Hanif.
Sumber: fakta.com