Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Fenomena deflasi yang sedang terjadi saat ini mengundang perhatian berbagai kalangan, baik pengamat ekonomi, pelaku bisnis, maupun masyarakat umum.

Banyak yang beranggapan bahwa deflasi ini disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat secara umum.

Namun, lebih dari sekadar masaalah konsumsi, situasi ini menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi yang semakin menganga. Ketimpangan ini memperlihatkan realitas bahwa uang semakin terakumulasi di tangan mereka yang berada di lapisan atas (the have), sementara lapisan menengah dan bawah masyarakat kian kehilangan daya beli.

Salah satu aspek penting dari fenomena ini adalah perubahan pola konsumsi.

Meski terjadi deflasi, konsumsi kelompok atas tetap stabil, bahkan lebih fokus pada kebutuhan tersier.

Artinya, alih-alih mengurangi konsumsi, mereka yang berada di lapisan atas justru tetap membelanjakan uang mereka, tetapi untuk barang-barang yang bersifat mewah atau hiburan.

Di sisi lain, kelas menengah bawah—yang daya belinya terus tergerus oleh berbagai faktor seperti inflasi, pengangguran, dan ketidakpastian ekonomi—mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk konsumsi barang tersier.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang sangat nyata dalam distribusi pendapatan di masyarakat.

Perubahan pola belanja yang cenderung mengutamakan barang-barang tersier di kelas atas ini mengindikasikan bahwa fenomena deflasi yang sedang kita saksikan tidak sepenuhnya mencerminkan penurunan ekonomi secara menyeluruh.

Kelas atas tetap berbelanja, tetapi kebutuhan mereka berbeda dengan masyarakat bawah. Barang-barang seperti elektronik canggih, produk fesyen premium, atau liburan mewah masih menjadi pilihan utama konsumsi mereka.

Hal ini tentu tidak terjadi di kelas menengah bawaah, yang justru berfokus pada bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan biaya pendidikan.

Fenomena ini sangat berbahaya. Ketika uang semakin terpusat di kalangan kelas atas, roda ekonomi yang didorong oleh konsumsi massa di kelas menengah bawah bisa terhenti.

Dalam jangka panjang, ketimpangan yang semakin tajam ini bisa berdampak buruk pada stabilitas sosial. Sejarah membuktikan bahwa kesenjangan yang tidak tertangani dapat memicu ketidakpuasan sosial yang lebih besar, berujung pada masalah-masalah sosial seperti meningkatnya kriminalitas atau konflik horizontal.

Jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini memperlihatkan bahwa kebijakan ekonomi yang ada belum berhasil menjawab persoalan mendasar terkait pemerataan kesejahteraan.

Kelas menengah bawah, yang seharusnya menjadi penggerak utama konsumsi dalam negeri, semakin terpinggirkan. Berbagai kebijakan yang diharappkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat, seperti bantuan sosial, subsidi, atau stimulus ekonomi, tampaknya belum sepenuhnya efektif menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

Sebaliknya, kebijakan tersebut malah terlihat lebih menguntungkan segelintir kelompok yang sudah mapan secara finansial.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini?

Langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkuat kebijakan redistribusi ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengambil langkah untuk memperbaiki sistem perpajakan, memastikan bahwa kelompok berpenghasilan tinggi berkontribusi lebih besar terhadap pembangunan negara.

Pajak yang progresif dan efektif dapat digunakan untuk membiayai program-program kesejahteraan sosial yang tepat sasaran, seperti subsidi kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi masyarakat bawah.

Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan akses terhadap peluang ekonomi bagi kelas menengah bawah.

Kebijakan yang mendorong pertumbuhan UMKM, memberikan akses terhadap modal bagi masyarakat kecil, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih inklusif sangat diperlukan. Langkah-langkah ini akan membantu mengurangi ketimpangan pendapatan dan memberikan kesempatan yang lebih merata bagi semua lapisan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam perekonomian.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan bahwa program bantuan sosial atau subsidi yang ada saat ini betul-betul menjangkau mereka yang paling rentan.

Bantuan langsung tunai, subsidi bahan pokok, serta program perlindungan sosial lainnya perlu didesain ulang agar lebih efisien dan tidak salah sasaran. Ini penting agar daya beli masyarakat bawah bisa kembali pulih, sehingga mereka mampu berkontribusi dalam roda ekonomi nasional.

Dalam jangka panjang, masalah ketimpangan ini tidak hanya menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi, tetapi juga bagi stabilitas sosial. Jika dibiarkan, ketidakadilan ekonomi ini bisa memicu berbagai masalah sosial yang lebih besar.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas dan terukur untuk mengatasi ketimpangan ini, sehingga semua lapisan masyarakat bisa merasakan manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Ketimpangan yang semakin tajam ini harus dihadapi dengan kebijakan yang berani dan berorientasi pada pemerataan, bukan hanya pada pertumbuhan semata.

Sumber: nusantara-news.co