Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom UPN Veteran Jakarta
Keputusan pemerintah untuk menunda kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 dianggap sebagai angin segar bagi kelas pekerja, yang selama ini terbebani oleh kenaikan harga rokok setiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, rokok menjadi salah satu barang konsumsi yang paling terdampak oleh kebijakan fiskal, di mana kenaikan tarif cukai secara multiyears memengaruhi harga eceran di pasaran. Namun, meski penundaan kenaikan cukai ini dapat meringankan beban pengeluaran, kebijakan ini belum cukup untuk sepenuhnya mendukung daya beli masyarakat kelas pekerja.
Tarif CHT, khususnya untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan 1, yang mencapai Rp1.231 per batang/gram, telah membuat harga rokok melambung tinggi. Dengan adanya kenaikan rata-rata sekitar 10 persen per tahun selama 2023 dan 2024, harga rokok semakin tidak terjangkau bagi banyak konsumen, terutama mereka yang berada di segmen menengah ke bawah. Menunda kenaikan cukai tentu memberikan sedikit ruang bernapas bagi kelompok ini, terutama bagi pekerja yang pengeluarannya sering kali terbagi untuk kebutuhan mendesak lainnya seperti transportasi, pangan, dan biaya kesehatan.
Meski demikian, kebijakan ini belum cukup untuk sepenuhnya memperkuat daya beli mereka. Dalam konteks inflasi yang masih tinggi di berbagai sektor, kelas pekerja terus menghadapi tekanan biaya hidup yang meningkat, mulai dari harga bahan pokok hingga kebutuhan sekunder. Data BPS menunjukkan bahwa inflasi tahunan masih berada di atas target pemerintah, dengan inflasi pangan dan energi sebagai kontributor utama.
Dalam konteks inflasi yang masih tinggi di berbagai sektor, kelas pekerja terus menghadapi tekanan biaya hidup yang meningkat, mulai dari harga bahan pokok hingga kebutuhan sekunder.
Data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa inflasi tahunan pada Agustus 2024 tercatat sebesar 2,12 persen, sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,13 persen. Meski demikian, angka ini masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia, yaitu 1,5 hingga 3,5 persen.
Inflasi di sektor pangan dan energi terus menjadi penyumbang utama tekanan harga. Inflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau tercatat sebesar 3,39 persen pada Agustus 2024, menurun dari 3,66 persen pada Juli 2024. Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan komoditas global seperti kopi dan emas juga turut berkontribusi pada inflasi inti yang naik tipis menjadi 2,02 persen pada Agustus 2024.
Tekanan biaya ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat sedikit penurunan inflasi di beberapa sektor, beban pengeluaran rumah tangga, khususnya kelas pekerja, masih signifikan. Inflasi yang tinggi pada kebutuhan pokok, termasuk pangan dan energi, tetap menjadi tantangan besar bagi daya beli masyarakat. Sehingga, meskipun harga rokok mungkin lebih stabil tanpa kenaikan cukai, komponen pengeluaran lainnya tetap menggerus daya beli masyarakat pekerja.
Selain itu, keputusan untuk tidak menaikkan cukai juga tidak sepenuhnya mengatasi fenomena downtrading—peralihan konsumen ke rokok murah dari golongan yang lebih rendah. Produksi rokok dari golongan I tercatat menurun, sementara golongan II dan III, yang memiliki harga lebih murah, justru meningkat.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa konsumen, terutama kelas pekerja, telah melakukan penyesuaian dengan beralih ke produk yang lebih terjangkau. Dalam konteks ini, penundaan kenaikan cukai saja tidak cukup untuk mengatasi permasalahan daya beli yang semakin menurun, terutama karena pilihan mereka terhadap produk lebih murah bukanlah solusi jangka panjang yang ideal.
Oleh karena itu, meskipun batalnya kenaikan cukai rokok bisa dianggap sebagai langkah sementara yang membantu meringankan beban kelas pekerja, hal ini masih jauh dari upaya yang komprehensif untuk mengembalikan daya beli.
Diperlukan kebijakan yang lebih luas dan terkoordinasi untuk menghadapi tantangan inflasi yang menekan hampir semua segmen masyarakat. Tanpa adanya langkah strategis yang mendorong peningkatan pendapatan riil serta pengendalian harga kebutuhan pokok, penundaan kenaikan cukai hanyalah pereda sementara yang tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat pekerja.
Sumber: neraca.co.id