Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Industri garmen dan tekstil di Indonesia sedang menghadapi badai besar.
Salah satu perusahaan tekstil terbesar, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, dengan utang mencapai Rp24 triliun.
Dampak langsung dari keputusan ini adalah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 20.000 pekerja Sritex, serta efek domino yang bisa mengguncang seluruh sektor industri garmen di Indonesia.
Sritex adalah salah satu ikon kebanggaan industri tekstil nasional yang tak hanya beroperasi di pasar domestik, tetapi juga dikenal di pasar global.
Dengan runtuhnya salah satu pemain besar ini, bagaimana industri tekstil Indonesia akan bertahan?
Apa langkah yang harus diambil oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk menanggulangi krisis ini?
Konteks Krisis di Industri Garmen
Dalam beberapa tahun terakhir, industri garmen Indonesia sudah berada di bawah tekanan.
Globalisasi, perubahan pola konsumsi, ketatnya persaingan internasional, dan pandemi COVID-19 telah memberikan dampak signifikan pada industri ini.
Ditambah lagi dengan ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor dan rantai pasok global yang terganggu oleh berbagai faktor eksternal, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta kenaikan biaya produksi di dalam negeri.
Pailit Sritex adalah puncak dari masalah yang telah lama mengintai.
Dengan beban utang yang besar, ketergantungan pada permintaan global, serta tekanan dari kenaikan upah minimum, Sritex akhirnya tidak mampu lagi bertahan.
Dalam konteks ini, situasi yang dialami Sritex bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi cerminan dari kesulitan yang dihadapi oleh industri garmen secara keseluruhan di Indonesia.
Dampak PHK Massal dan Potensi Krisis Sosial
PHK massal di sektor garmen bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga sosial.
Ribuan pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak hanya berpengaruh pada daya beli mereka, tetapi juga akan memengaruhi stabilitas sosial di kawasan industri yang sangat bergantung pada keberadaan perusahaan-perusahaan tekstil besar.
Banyak dari pekerja yang terkena PHK adalah tulang punggung keluarga, dan jika mereka kehilangan penghasilan, dampaknya akan berlipat ganda.
Selain itu, mayoritas pekerja di sektor garmen adalah perempuan, dan kehilangan pekerjaan dalam skala besar seperti ini akan memperburuk kesenjangan gender dalam tenaga kerja dan meningkatkan tingkat kemiskinan perempuan di Indonesia.
Ini adalah isu yang perlu dihadapi dengan serius, mengingat industri tekstil adalah salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia.
Apa yang Harus Dilakukan Prabowo?
Sebagai presiden terpilih, Prabowo Subianto menghadapi tugas berat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, terutama dalam mengatasi dampak dari krisis di sektor garmen ini.
Ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil oleh Prabowo dan pemerintahannya untuk meredam dampak buruk dari badai PHK di industri garmen dan tekstil:
Paket Bantuan untuk Pekerja yang Terkena Dampak
Langkah pertama dan mendesak adalah memastikan bahwa pekerja yang terkena PHK mendapat dukungan yang memadai.
Pemerintah harus segera mengeluarkan paket bantuan sosial khusus untuk pekerja di sektor garmen yang terdampak.
Program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau subsidi bagi keluarga yang kehilangan penghasilan harus segera disalurkan untuk mencegah terjadinya krisis sosial yang lebih luas.
Selain itu, program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) harus diperluas agar para pekerja dapat mengakses peluang pekerjaan di sektor lain.
Misalnya, pekerja garmen yang memiliki keterampilan menjahit atau produksi tekstil dapat dilatih untuk beralih ke industri lain yang sedang berkembang, seperti industri kreatif atau teknologi.
Restrukturisasi Utang dan Dukungan Bagi Perusahaan Tekstil
Krisis di Sritex menunjukkan betapa rentannya industri tekstil terhadap tekanan keuangan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan bank-bank dan lembaga keuangan untuk memberikan skema restrukturisasi utang yang lebih fleksibel bagi perusahaan tekstil yang mengalami kesulitan.
Pendekatan ini diperlukan untuk mencegah lebih banyak perusahaan tekstil yang terjerumus dalam kebangkrutan.
Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak dan subsidi energi bagi perusahaan tekstil untuk membantu mereka menurunkan biaya produksi.
Industri garmen sangat padat karya, sehingga biaya produksi yang lebih rendah akan membantu perusahaan-perusahaan ini bertahan dan tetap kompetitif di pasar global.
Mendorong Konsolidasi dan Kolaborasi Industri
Industri tekstil Indonesia saat ini tersebar dan cenderung terfragmentasi, dengan banyaknya perusahaan kecil hingga menengah yang beroperasi secara independen.
Pemerintah harus mendorong konsolidasi di sektor ini, dengan memfasilitasi kolaborasi antara perusahaan-perusahaan besar dan kecil.
Dengan konsolidasi, industri tekstil dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan meningkatkan daya saing global.
Pemerintah juga dapat membentuk klaster industri tekstil yang terintegrasi, di mana perusahaan-perusahaan tekstil dapat beroperasi secara bersama-sama dalam satu ekosistem, dengan akses yang lebih mudah ke infrastruktur, bahan baku, dan teknologi produksi terbaru.
Penguatan Pasar Domestik
Selama ini, industri garmen Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor.
Ketergantungan ini membuat industri rentan terhadap fluktuasi permintaan global dan ketidakpastian ekonomi internasional.
Untuk itu, Prabowo perlu mendorong penguatan pasar domestik sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas industri tekstil.
Program seperti kampanye “Bangga Buatan Indonesia” harus terus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mendukung produk lokal.
Selain itu, pemerintah harus mendorong sektor retail dan fashion domestik untuk lebih mengutamakan penggunaan produk tekstil dalam negeri, yang pada gilirannya akan mendukung industri tekstil nasional.
Inovasi dan Teknologi
Di era persaingan global saat ini, industri tekstil Indonesia harus bertransformasi dengan mengadopsi teknologi dan inovasi.
Prabowo harus memfasilitasi investasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, seperti penggunaan mesin otomatisasi, material ramah lingkungan, serta teknologi penghematan energi.
Pemerintah juga perlu mendukung riset dan pengembangan (R&D) di sektor tekstil, dengan menyediakan insentif bagi perusahaan yang berinovasi dalam menciptakan produk tekstil yang bernilai tambah tinggi.
Seperti kain berbahan organik atau tekstil teknologi tinggi untuk keperluan medis dan olahraga.
Catatan Penting
Badai PHK di sektor garmen, terutama dengan kepailitan Sritex, adalah sebuah krisis yang tidak bisa dianggap remeh.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga akan mengguncang industri tekstil secara keseluruhan.
Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, memiliki tanggung jawab besar untuk menavigasi Indonesia melalui krisis ini.
Dengan langkah-langkah yang tepat, seperti memberikan bantuan sosial dan pelatihan ulang bagi pekerja, mendukung restrukturisasi utang perusahaan tekstil, mendorong konsolidasi industri, memperkuat pasar domestik, serta memfasilitasi adopsi teknologi dan inovasi, Prabowo dapat membantu industri tekstil Indonesia bangkit kembali.
Industri ini memiliki potensi besar untuk tetap menjadi salah satu pilar penting ekonomi nasional, namun membutuhkan intervensi yang cepat dan tepat dari pemerintah untuk dapat bertahan dan berkembang di masa depan.
Sumber: media24.id